01: Bocah Antartika

56 31 13
                                    

Satu dua mesin kendaraan menderu dari kejauhan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Satu dua mesin kendaraan menderu dari kejauhan. Gorden jendela tersibak lebar. Cahaya bebas menerobos masuk. Seakan menyinari satu-satunya pemuda di ruang tengah.

Sio tak melepas perhatian dari kanvas 30 x 40 cm di atas kakinya yang menyilang. Menoreh warna dari satu titik ke titik lain, kemudian mengambil cat lukis lagi dari wadah kecil di atas meja.

Telinga seolah tertutup rapat. Sio sama sekali tak terganggu, padahal sejak tadi dentuman bola membentur lantai berkali-kali mendengung. "Ayo, Bang!" Jael melempar dengan presisi, hampir gagal diterima Yutha. Tak heran, Jael mengambil posisi shooting guard utama di tim basket SMA.

Yutha memuji kemampuan Jael, kemudian mengumpan bola basket.

Bola sengaja ditahan di tangan. Jael memandang pemuda lain di sofa ruang tengah. "Maaf ya, Bang Sio, kita berisik," ujarnya sambil berusaha membuat suara imut.

Sorot lembut, kepala miring ke kanan kiri bergantian, memeriksa proporsi lukisan. "Gak apa-apa kok."

Jael tertawa kecil. Kemudian melempar bola basket pada Yutha. "Lanjut, Bang!"

Diterima sempurna, Yutha mengembalikan bola sambil nyeletuk, "Katanya kita mau punya adik lagi."

"Mama hamil?"

"Bukan!" Yutha dengan mudah menyerang setelah lemparan Jael sebelumnya agak lemah. "Bang Landi tadi nge-chat. Katanya Mama Papa ngadopsi anak dari panti asuhan."

Jael mendengus. "Aku gak mau punya lawan berantem ...."

"Kali ini cewek." Yutha lebih dulu meluruskan sebelum Jael berpikir lebih jauh tentang calon anggota keluarga paling muda.

"Seriusan cewek?" Jael tanpa sadar mendorong bola kuat-kuat, seiring semangat melonjak tinggi. Senyum lebar tergambar. Tak sabar melihat bocah imut nan cantik—dalam angannya.

Deru mesin kendaraan kali ini terdengar lebih kencang. Tak lama, pintu terbuka. "Halo," sapa Landi. Dia menahan pintu lebih lama, memberi kode pada seseorang di belakangnya untuk memasuki rumah.

Sio yang masih sibuk berkutat dengan kuas, sapuan warna-warna dan kawan-kawannya, hampir mengumpat saat kanvas di hadapannya mendadak direbut seseorang. "Woi! Lancang!" Dia bangkit, memandang lekat gadis asing di sofa sambil berkacak pinggang.

Sedetik kemudian, dentuman khas bola basket dan benda keras terdengar jelas di telinga Sio. Dia berbalik, ada Landi—mengangkat lengan kanan setinggi dada, seperti menahan sesuatu—dan bola basket menggelinding lirih di lantai. "Ara tahu kalo lemparan Jael bakal ngarah ke lukisanmu."

Landi menyimpan bola basket di bagian bawah meja ruang tamu.

"Hei, kalian berdua! Sini lho!" seru Landi sebelum duduk di sebelah Ara.

Jael paling semangat berlari. Diikuti Yutha di belakangnya.

Sio mendecak kesal. Mengalihkan seluruh perhatian dari si pendatang menuju dirinya. "Apa-apaan sama anak ini? Kamu harusnya ngerti kalo karya setengah jadi pantang disentuh sama orang asing!"

Orca and The Flower IceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang