83 | dua anak papi

173K 18.6K 1.8K
                                    




83 | dua anak papi



SABRINA duduk di salah satu meja outdoor sebuah restoran pasta, berdua dengan Papinya. Mereka berdua baru selesai belanja kebaya untuk Sabrina dan Ibel, dan setelan baru untuk sang Papi. Juga sudah ke salon dan studio foto, booking untuk hari H. Semua persiapan untuk wisuda sudah beres. Terakhir, yang bikin ribet adalah sertifikat TOEFL sebagai salah satu berkas persyaratan wisudanya yang belum keluar, tapi sudah teratasi, digantikan surat keterangan dari Language Center bahwa dirinya sudah mengikuti tes. Yang kurang tinggal mengikuti gladi resik saja.

"Ibel belum ngabari?" Papi bertanya sambil membuka-buka buku menu, sementara Sabrina masih sibuk menghubungi sang kakak.

"Nggak diangkat, ih, dari tadi. Lagi sibuk kali, jadi nggak bisa izin keluar, biarpun udah jam makan siang."

Papi cuma mendengus pelan, mengoper buku menu ke Sabrina setelah menemukan apa yang ingin dipesannya.

"Zane mana? Masa udah dua hari Papi di Jakarta nggak nongol sama sekali batang hidungnya? Nggak sopan!"

Sabrina sok serius membaca-baca menu, mengulur-ulur waktu untuk menjawab.

"Kamu nggak bilang Papi udah di sini?" Papinya bertanya lagi.

Kali ini Sabrina terpaksa mengangkat wajah dan memandangnya. Pasang senyum semanis mungkin.

"Enggak. Sabrina nggak enak dong, sama Ibel, kalo ketahuan ngenalin Zane duluan dibanding cowok dia. Lagian kan rencananya siang ini pacar Ibel mau ikut makan juga." Sabrina kembali menatap buku menunya. "Btw pacar Ibel udah tua dan super tajir, kok Ibel selalu ngajakin makan junk food gini, sih? Dasar cewek nggak berbudi luhur! Bisa-bisa dia batal dilamar karena si cowok takut cepet mati kalau hidup sama dia."

Papi kontan memukul anak gadisnya itu dengan papan kayu nomor meja, membuat Sabrina mengaduh keras.

"Papi tuh, ya, mentang-mentang Sab belum bisa berkontribusi untuk hidup Papi, demen banget ngetok-getok pala. Ini di dalemnya ada otak lo, Pi. Modal besar untuk melanjutkan hidup. Papi rela, menghidupi Sab sampe tua seandainya Sab nggak bisa ngapa-ngapain lagi karena cedera otak?"

Papi memukulnya sekali lagi, ditambah omelan yang lebih panjang dibanding omelannya sendiri tadi. Akhirnya Sabrina pilih mengalah. Daripada durhaka.

"Oh iya." Sabrina menurunkan nada bicaranya. Posisi duduknya juga jadi menunduk dekat meja, seolah-olah yang akan diucapkannya begitu penting dan tidak boleh sampai bocor ke telinga pengunjung lain di meja sebelah. "Papi jangan sampai keceplosan ngasih tau Ibel, ya, soal yang Papi mergokin Sab sama Zane bercanda kelewatan waktu itu. Pleaseee. Ibel tuh lebih sadis dibanding Papi sama Mami disatuin. Tau deh, dia itu nurun siapa sifatnya."

"Bercanda kamu bilang?!"

Karena akhirnya kepalanya mendapatkan satu teplakan lagi, Sabrina bertekad tidak akan buka mulut lagi.

Hidupnya memang nggak pernah bener. Salah terus.

Bisa jadi, dulu pas proses pembuatan dirinya, Papi-Mami nggak bener-bener niat. Nggak pakai doa dulu. Atau nggak, bikinnya buru-buru karena Ibel yang waktu itu udah TK keburu mergokin mereka.

Hmm, bisa jadi.


~


Sabrina bisa memaklumi Ibel yang membatalkan acara makan siang mereka dua hari yang lalu dengan alasan pekerjaan. Tapi saat sampai waktunya memasuki aula di hari H wisuda dan kakaknya itu tidak juga muncul, mau tidak mau dia jadi cemas.

"Ibel nggak bilang apa-apa ke Papi?" tanya cewek itu sambil bersiap-siap masuk aula, bahkan tidak sempat cemburu melihat wisudawan lain sudah memeluk banyak buket bunga serta dikerumuni keluarga dan teman-temannya.

Dia sendiri sudah mewanti-wanti Zane dan anak kantor lain untuk tidak datang. Dia memang ingin merayakan wisudanya bersama Papi dan Ibel dulu. Baru nanti malam menraktir mereka semua makan enak, sekalian ngobrol-ngobrol tentang rencana resignnya.

Tapi saat Ibel lagi-lagi tidak ada kabar, Sabrina jadi ambyar dan berpikir yang tidak-tidak.

Jangan-jangan Bang Roger sudah memberitahu kakanya itu, bahwa dia dan Zane pacaran? Jangan-jangan karena hal itu, mereka jadi bertengkar dan Ibel jadi marah padanya, merasa dihianati adik sendiri?

"Kamu masuk dulu, deh. Gantian Papi yang hubungin."

Karena tidak mungkin menunggu lebih lama, Sabrina terpaksa menyetujuinya. Di dalam aula biasanya susah signal, entah kenapa. Dan menyebalkannya lagi, tidak ada wifi di dalam!

"Pi, kalau Ibel ngangkat teleponnya, bilangin Sab minta maaf. Ibel nggak perlu ngalah buat Sab lagi. Sab sayang Ibel."



... to be continued


Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang