Revan yang penasaran langsung bergegas memarkirkan sepeda motornya dan mengikuti Bagas dengan tenang ke dalam area pemakaman. Ia dapat melihat Bagas berhenti dan berlutut di depan sebuah makam dengan raut wajah yang sendu. Revan cepat-cepat mencari tempat bersembunyi untuk mengintainya.
"Siapa yang terbaring di bawah batu nisan itu?" Revan mulai bertanya-tanya.
Setelah beberapa lama, Bagas beranjak pergi meninggalkan pemakaman. Revan lalu mendekati makam itu untuk melihat nama yang terukir di permukaan nisannya.
'Vira Andianti, 15 Juni 2001 - 14 Desember 2019'
"Siapa perempuan ini? Ada hubungan apa antara Bagas dengannya?" Revan mengernyitkan dahinya, namun ia berusaha mengabaikan hal itu.
Revan mulai berjalan ke arah tempat parkir untuk mengambil sepeda motornya. Namun, ia dikejutkan dengan sosok Bagas yang sedang terduduk di atas kendaraannya itu.
"Untuk apa kau mengikutiku?"
Bagas langsung menatap Revan dengan sinis. Ia merasa sangat kesal karena telah dibuntuti seperti ini.
"Ahh? Tidak.. Aku-"
"Tak perlu mengelak! Apa yang kau rencanakan sekarang?!" Bagas memotong penjelasan Revan."Rencanaku? Bukankah itu sudah jelas?" Revan mendekati Bagas dengan tenang.
"Selalu berusaha membuatmu celaka, membuatmu putus asa dalam menjalani kehidupan, dan sekarang berada di pemakaman, apakah kau terlalu bodoh untuk menebak rencanaku terhadapmu?" Revan tersenyum jahat.
"Syukurlah kau ada di sini, aku baru saja memesan sebuah liang lahat untukmu. Apa kau mau ku temani untuk melihat tempat peristirahatan terakhirmu itu?" Revan memegang bahu Bagas, namun ia langsung menepisnya.
"Aku pikir, kau tadi mengunjunginya," Bagas berucap dengan pelan.
"Mengunjungi siapa?" Ekspresi Revan berubah terkejut. Di sisi lain, ia takut jika Bagas berhasil menemukan makam Revin di tempat ini.
"Apa kau benar-benar tak ingat?!" Bagas mencengkeram kerah Revan dan membuatnya terkejut dengan gerakan yang tiba-tiba itu.
"Kau sangat menyebalkan, Revin! Itulah alasan mengapa aku sangat membencimu!" Bagas mendorong Revan dengan keras dan bergegas pergi ke arah sepeda motornya yang terparkir di sisi lain tempat parkir ini.
"Oh ya, ku harap kau tak keberatan jika harus meniup ban kempismu itu sampai mengembung kembali," Bagas tertawa dengan penuh kemenangan lalu melesat pergi meninggalkan Revan dan ban sepeda motornya yang kempis.
Revan mendengus kesal, amarah dalam dadanya semakin berkobar. Terpaksa ia harus mendorong sepeda motornya sampai menemukan bengkel terdekat.
Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam, namun Revan belum kembali ke rumahnya. Di ambang pintu, berdiri sesosok wanita yang terus-menerus menoleh ke segala arah dengan raut wajah cemas dan kebingungan.
Namun setelah ia mendengar suara deru mesin kendaraan yang sangat familiar baginya, bibirnya mulai melengkung membentuk senyuman yang indah.
"Revan, kenapa baru pulang? Ibu sangat khawatir," wanita yang menyebut dirinya sebagai ibu itu perlahan mulai tertunduk dengan sedih. Revan dapat melihat setitik cahaya menetes ke bawah pipinya. Ibunya menangis. Revan bergegas menghampiri dan menenangkannya.
"Ibu, kenapa kau menangis?" Revan mengusap lembut pipi ibunya, menghapus semua air perasaan yang terbuang.
"Ibu takut. Sangat takut.." Ibunya menangis di dalam pelukan Revan.
"Ibu takut terjadi sesuatu terhadapmu. Ibu tak mau kehilangan orang yang ibu sayang untuk kesekian kalinya," Revan terdiam, matanya mulai berair.
"Maafkan Revan, bu.."
