4 • hiraeth

1.5K 241 18
                                    

Hiraeth; perasaan rindu akan rumah yang tidak akan pernah bisa kembali.

✎ ✎ ✎

"Mama... Mama..."

Gadis kecil berumur 7 tahun blasteran Indo-Spanyol itu berjalan keluar kamar sambil mengucek matanya karena tiba-tiba terbangun dari tidurnya pukul 2 pagi. Berjalan menuju kamar orang tuanya dengan piyama biru muda dan rambut sebahu acak-acakan. Entah, mimpi buruk tentang Mamanya membuat ia terburu-buru ingin memeluk sang Mama.

Ceklek!

Ketika ia membuka pintu kamar orang tuanya, ia sungguh terkejut hingga tubuhnya terduduk di lantai yang dipenuhi kaleng bir yang sudah kosong. Melihat tubuh Mamanya yang digantung di langit-langit kamar dengan tali gantung serta wajahnya yang pucat pasi membuat ia ketakutan hingga matanya seperti sulit untuk berpindah ke objek lain selain jasad Mamanya.

"Abang Digo!" Ia berusaha berteriak dengan keras agar sang Kakak laki-laki segera bangun.

Karena sang Kakak tak kunjung menghampirinya, ia mendekat ke tubuh Mamanya yang masih tergantung dengan memakai gaun merah di bawah lutut serta riasan tebal dan rambut yang digerai. Ia menarik-narik kedua kaki Mamanya berharap agar beliau turun dan menjelaskan arti semua ini.

"Mamá..." Ia mulai memanggil dengan lirih sebutan Mamanya dalam bahasa Spanyol karena ia mendapat tiga per empat wajah Spanyol berasal dari sang Mama, "Mama kenapa ada di sana? Mama baik-baik aja kan?"

Sang Mama pun tak kunjung menjawab pertanyaannya hingga ia menggoyangkan kedua kaki beliau berkali-kali sambil menangis keras. Berulang kali ia memanggil Mamanya dalam bahasa Spanyol. Sambil berteriak dan memeluk kedua kaki beliau karena tubuh kecilnya tidak sampai untuk memeluk tubuhnya.

Tidak lama kemudian, suara derap langkah kaki yang terburu-buru semakin terdengar di telinga gadis kecil itu. Sang Kakak laki-laki yang berumur 10 tahun lebih tua darinya akhirnya tiba dengan rasa yang tak kalah terkejutnya dari adik perempuannya.

Sambil menunggu polisi datang, Digo menjauhkan sang adik dari jasad Mamanya. Digo memeluk Nilu yang masih menangis keras sambil terisak. Tidak lama, beberapa polisi memasuki rumah mereka untuk mengeksekusi jasad sang Mama dan membawa kakak-beradik itu ke mobil polisi agar lebih tenang.

Nilu yang berhenti menangis itu melihat tubuh Mamanya dari jendela mobil yang dibawa keluar dan dimasukkan ke mobil ambulan. Sebelum dibawa pergi, ia keluar dari mobil polisi dan berlari menghampiri jasad sang Mama yang tertutupi kain putih lalu memeluknya dengan erat.

"Selamat tinggal Mama cantik. Nilu selalu sayang Mama," ucapnya dengan tatapan kosong.

Beberapa tetangga yang keluar rumah untuk menengok kejadian di rumah besar berlantai 3 itu mulai berbisik satu sama lain. Membicarakan sosok wanita paruh baya yang ditinggal suaminya karena serangan jantung. Semenjak itu, wanita yang memiliki dua anak, Digo dan Nilu, mulai dikencani oleh pria secara bergantian. Bahkan, Nilu pun selalu melihat Mamanya pulang bersama pria yang berbeda-beda setiap malamnya, hingga melakukan hubungan seks dengan kekerasan. Ia pun selalu mengintip ketika Mamanya sedang menangis diam-diam setelah pria-pria itu pulang dengan rasa puas.

Nilu tidak tau apa alasan Mamanya membiarkan pria-pria itu menyiksa tubuh beliau dengan berhubungan seks. Tetapi ia juga mendengar dari mulut-mulut tetangga bahwa Mamanya mencari uang dengan menjadi pelacur. Sakit hati tentu mendengar ucapan mereka, terlebih lagi setelah kematian Mamanya, para tetangga itu masih saja bergunjing hingga terdengar di telinganya.

"Karma jadi pelacur tuh, makanya dibunuh."

"Pasti pembunuhnya salah satu dari cowok yang berhubungan sama dia."

"Emang dibunuh ya? Bukannya bunuh diri karena stress gara-gara ada yang nularin dia penyakit menular seksual?"

"Kayaknya bunuh diri deh. Kalaupun dibunuh bisa aja anak-anaknya sendiri yang ngebunuh, secara kan Digo dan Nilu pasti benci sama Mamanya sendiri."

Nilu melepaskan pelukan itu, lalu berdiri tegak menatap ke arah gerombolan ibu-ibu yang merasa terintimidasi ketika dilihat secara tajam oleh putri bungsu dari wanita yang sering mereka bicarakan.

"Tolong dijaga mulutnya, ibu-ibu. Udah tua masih aja ngumpulin dosa," cibir Nilu membuat para ibu itu berdecih.

"Masih kecil aja udah berani ngelawan yang lebih tua," balas salah satu dari mereka.

"Ya seharusnya kalian yang malu karena ditegur sama gadis kecil yang otaknya lebih cerdas daripada kalian-kalian yang nggak punya otak dan cuma bisa bergunjing!" Nilu benar-benar kesal hingga ia kembali ke mobil polisi dan kembali menangis karena tidak bisa membayangkan Mamanya sudah meninggal tetapi masih bisa mendengar omongan-omongan pedas itu.

Semenjak kejadian di pagi yang gelap itu, Digo dan Nilu meninggalkan Jakarta dan pergi ke kota kelahiran mereka di Madrid. Karena umur Digo yang sudah menginjak 17 tahun, mereka pun dapat terbang ke Madrid berkat bantuan para polisi dan keluarga dari sang Mama di Madrid yang siap membesarkan mereka berdua.

"Nilu udah lima tahun nggak ke Madrid. Kalo Abang?" tanya Nilu ketika mereka baru saja duduk di dalam pesawat.

Digo nampak berpikir sejenak, "Udah lama banget. Kayaknya terakhir kali pas kamu lahir di bumi."

"Itu waktu Abang umur berapa?"

"Umur sepuluh tahun mungkin?"

"Berarti waktu Nilu umur dua tahun Abang nggak ikut ke Jakarta?"

"Eh bentar-bentar." Digo pun lupa sejak kapan ia meninggalkan kota Madrid, "Kayaknya waktu aku umur dua belas tahun?" kekehnya.

Nilu pun ikut terkekeh, "Gimana sih, Bang! kok sampai lupa!"

Ah, iya, Papa mereka sudah meninggal 3 tahun yang lalu ketika Nilu masih berumur 4 tahun. Beliau meninggal karena serangan jantung ketika selesai dari kamar mandi. Mungkin beliau terlalu capek bekerja sebagai direktur di perusahaan kontraktor terbesar di Jakarta.

Digo dan Nilu juga sangat akur, bahkan hampir tidak pernah bertengkar. Siapapun yang melihat kedekatan Digo dan Nilu, pasti mereka iri dan ingin memiliki hubungan yang tentram dengan kakak atau adiknya seperti mereka berdua. Semenjak kedua orang tuanya meninggal, Nilu bersyukur masih diberi Kakak laki-laki yang sangat sayang kepadanya.

"Setahun lagi kan Bang Digo mau kuliah tuh. Abang mau ambil jurusan apa? Dan di universitas mana?" tanya Nilu.

Digo mengacak rambut Nilu, "Kamu tuh masih bocah kok udah tau kuliah-kuliah sih? Diajarin siapa?"

Nilu mengerucutkan bibirnya, "Yeu, kan Abang sendiri yang udah ngenalin Nilu ke hal-hal yang seharusnya anak kecil mustahil untuk bisa tau."

Digo terkekeh, "Abang besok mau jadi kayak Papa! Jadi kontraktor! Universitasnya masih belum tau dimana. Apalagi kita pindah ke Madrid."

Nilu menganggukkan kepalanya berkali-kali seakan paham dengan ucapan Digo walaupun masih butuh beberapa detik untuk memahami.

"Mayday! Mayday! Mayday!"

Nilu tercekat ketika telinganya mendengar suara pilot yang berteriak. Tidak lama setelahnya, beberapa pramugari memberitahu kemungkinan terjadinya kecelakaan pesawat sehingga para penumpang diwajibkan untuk segera memakai masker oksigen yang jatuh untuk memberikan aliran oksigen.

150 penumpang termasuk Digo dan Nilu segera memasang masker oksigen itu ke hidung mereka sembari merasakan goyangan yang cukup keras di dalam pesawat. Digo mengaitkan jari-jari tangannya ke tangan Nilu dengan erat, berdoa di dalam hati untuk keselamatan bersama. Jantung yang semakin berdebar karena Nilu merasakan pesawat ini turun ke bawah dengan cepat.

Hingga saat Nilu memejamkan matanya karena sebentar lagi akan terjadi benturan keras, pesawat penerbangan Jakarta-Madrid itu mendarat dengan kasar di hutan belantara.

☁️☁️☁️

😔😔

Sociopath GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang