🍂tak Semua Harus Sesuai Inginmu

20 5 7
                                    


"Cobalah keluar dari zona nyaman ketika kau merasa bosan."

Setelah selesai dengan pesta pernikahan, Adnan langsung membawa Akira pindah ke rumah baru mereka. Aku melepas mereka dengan senyum yang mengembang, tapi ibu? Senyumnya merekah beriringan dengan air mata yang juga mengalir deras. Tergambar jelas, bahwa ibu juga memiliki rasa khawatir yang lebih besar ketimbang aku.

Bahunya bergetar, terasa jelas ketika aku merengkuhnya ke dalam dekapan. Di sisi lain, Keenan juga tampak menghibur meyakinkan bahwa Akira telah menemukan suami yang tepat. Tak pernah ada kata yang terucap, yang ibu lakukan hanya menangis dan sesegukan.

Waktu hampir menunjukkan dini hari ketika kami berhasil meyakinkan ibu tentang Akira. Rumah sudah sepi, yang ada tinggalah aku dan Keenan duduk berdampingan namun hanyut dalam fikiran masing-masing.

"Besok pengumuman hasil interview 'kan?

Aku mengangguk tanpa menoleh, entah Keenan melihatnya atau tidak. Sejak pertanyaan Keenan sore tadi, kami memang terlihat agak canggung. Sungguh ... sebenarnya ini bukan pertama kali Keenan bertanya tentang hal seperti itu, tapi tetap saja rasanya selalu canggung.

"Besok aku ada bimble di empat rumah."

Keenan mencari topik lain agar aku buka suara, dan lagi-lagi hanya menanggapinya dengan berdeham. Aku selalu merasa bersalah di saat seperti ini, tak pernah bisa menjawab pertanyaan tentang pernikahan. Bahkan pernah aku memintanya mencari orang lain jika memang dia sudah ingin berumah tangga.

"Terima kasih ya, sudah bantu tenangin ibu."

🍁🍁🍁


Jantungku berpacu dengan cepat sejak lima menit lalu, tiga menit lagi 'jika tidak ngaret' pengumunan interview  pendaftaran kerja akan dibagi melalui sosial media. Segelas susu coklat hangat dan brownies coklat buatan ibu jadi teman dag-dig-digku.

Aku ... Naomi Anjani, S.S. Dua bulan lalu aku baru saja menyelesaikan sidang skripsi, akhir tahun baru wisuda. Sejak sedang menggarap skripsi aku memang sudah memasukkan bahan lamaran kerja di banyak tempat yang notabene berbau sastra.

Awalnya aku bercita-cita menjadi seorang penulis terkenal seperti 'Raditya Dika, Ernest Prakasa, Andrea Hirata' dll. Namun, semakin ke sini aku memilih menyerah pada cita-cita sendiri.

Ponselku bergetar.

Aku melahap habis setengah potong brownies  ditanganku lalu meneguk susu sebelum beranjak menjawab panggilan telepon yang masuk.

Dahiku mengernyit saat melihat nama yang tertera dilayar ponsel.

'Keenan,' monologku, bukankah sekarang seharusnya ia sedang mengajar private di rumah anak didiknya?

"Halo ... Keenan," sapaku setelah menyentuh gagang telepon berwarna hijau di tengah layar.

"Selamat ya."

Selamat?  Dahiku kembali mengernyit. Memangnya sekarang tanggal berapa?  Ulang tahunku sudah lewat tiga bulan yang lalu. Aku menekan pelipis kuat, berusaha mengingat namun hasilnya zonk!

"Selamat untuk?" Aku bertanya penasaran.

Bukannya menjawab, Keenan malah tertawa lumayan keras di sana. Sungguh, aku benar-benar lupa tentang hari bersejarah apa hari ini. Anniversary  kami masih bulan depan, ulang tahun pun sudah lewat. Seingatku tak ada hari penting selain menikahnya Akira hari lalu.

"Kamu bercanda? kamu ini ada-ada saja."

"Keenan  ... aku serius!  Selamat atas apa sih?!"

"Selamat ... karena resmi diterima menjadi anggota Editor's Nusantara."

Aku melongo di sepersekian detik. "HA?!  KAMU SERIUS?!"

Aku berlari kembali ke tempat semula, meja belajar. Membuka link  yang ternyata sudah masuk ke email sejak beberapa menit lalu. Aku memeriksa satu-satu nama yang tersusun rapi dari urutan 1-27. Keenan benar, aku berada di urutan 25.

"KEENAN!  AKU DITERIMA!  YEAY ... YEAY ... YEAY...."

Aku berteriak sambil terus berlompatan kecil. Jika bukan buatan Tuhan, mungkin gendang telinga Keenan sudah pecah karena teriakan yang menggelegar tiada tara. Sangat bersemangat aku sampai tak sadar jika ibu sudah berada di ambang pintu.

"Eh ... Ibu ...."

Aku meringis tersipu menahan malu. "Keenan, ada ibu sudah dulu ya, babay!" bisikku pada Keenan di panggilan telepon. Setelah memutuskan sambungan telepon, aku berlari kecil ke dekapan ibu.

"Ibu bangga sama kamu!"

Ibu menyambut hangat pelukanku, lalu mengelus rambut yang panjang hanya sebahu itu. "Jangan di sia-siakan lelaki seperti Keenan, Mi."

Aku tertegun dalam dekapannya, upaya untuk menyadarkan  dari trauma masa lalu sangat keras. Air mata menetes, setiap kali ia mencoba membahas sesuatu yang aku tak mampu mewujudkannya.

"Tunggu Naomi berhasil jadi orang hebat, kami pasti akan menikah, Bu. Percaya sama Naomi," jelasku halus seraya melepas pelukan.

Ibu tak menjawab, ia hanya menganggukkan kepala sambil mengajakku beralih ke ruang makan. "Ayo makan, nanti kita berkunjung ke rumah kakakmu. Ibu sudah rindu."

🍁🍁🍁

Butuh waktu sekitar satu jam perjalanan menuju ke rumah Akira, rasanya pantat ini sudah menyatu dengan kursi mobil. Perjalanan jauh perdanaku, untung saja Keenan bisa meluangkan waktunya sekedar mengantar kami berkunjung ke rumah Akira.

Aku tercengang ketika sampai di depan sebuah rumah besar bernuansa putih.

'Astaga, sekaya inikah Adnan,' batinku dalam hati.

Akira benar-benar beruntung. Rumah kami bahkan hanya seperempatnya saja.

Akira menyambut kami dengan muka yang tak bisa diartikan. Matanya sembab seperti orang menangis, dia bilang matanya kelilipan debu saat bersih-bersih rumah. Aku tak melihat siapapun di rumah sebesar ini, kecuali Akira.

"Kak, kamu bersihin rumah sebesar ini sendiri?"

Ibu dan Keenan menghentikan aktifitas  seolah penasaran juga dengan jawaban Akira. Akira tampak seperti orang bingung, persis menutupi sesuatu.

"Ah, kan, sudah biasa aku bersih-bersih rumah," sahutnya dengan senyum yang aku yakin itu tak jujur.

"Tapi rumah ini besar, Akira," potong Ibu yang mungkin juga ikut prihatin.

"Haha ... tak apa, Bu. Ini rumah pemberian mas Adnan dan aku harus menjaganya bukan?" Akira membela diri, dan aku hanya diam.

Perihal rumah tangga Akira dan Adnan, memang bukan lagi urusan kami. Tapi fikiranku selalu mengarah ke hal buruk, selama berada di rumah Akira aku sibuk memperhatikan semua secara detail. Rumahnya rapi dan bersih, terakhir Akira bilang, Adnan tak suka sesuatu yang berserakan.

"Keen, kamu ngerasa ada yang ditutupi Kak Akira, kah?"

Aku terpaksa bercerita pada Keenan, karena takut jika spekulasi itu terlalu jauh. Percayalah, aku hanya takut hal buruk menimpa Akira dan ini hanya karena rasa sayang.

"Apa yang ditutupi? Kak Akira bahagia gitu. Lihat," sangkal Keenan sambil mengarahkan dagunya ke dapur terlihat jelas Akira tersenyum lebar di sebelah ibu.

Keenan menatapku penuh selidik. "Naomi, nggak semua rumah tangga itu seperti apa yang kamu bayangin!"

Mendengar pernyataan Keenan, Naomi menciut. Salah tingkah, tak enak hati.

"Iya, karena aku dan traumaku itu cuma beban."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 27, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta 'TAKUT' Menikah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang