Yaman, 1988
Hembusan angin malam itu tak kalah membara dengan suara langit yang bergemuruh di atas sana. Ombak-ombak terpacu untuk saling mengalahkan. Ketika yang satu datang, yang lain juga ikut berkejaran sehingga membuat tubuh lelaki yang berada di atas perahu kecil itu tak dapat mengelak dari gerakan berayun yang mengombang-ambing.
Drama hidupnya tak berhenti sampai di sana, air hujan turun sangat deras sampai-sampai ia harus memakai pelindung badan sejenis mantel yang terbuat dari plastik. Ia kerahkan sekuat tenaganya mengayuh perahu yang tidak lebih besar dari mobil sedan itu.
Rasanya sudah lebih dari 3 minggu ia berada di atas perahu ini. Sejak kelahiran kedua putrinya itu, wajahnya tak pernah menampakkan aura kebahagiaan. Bayi yang dinantikan telah lahir namun tak kunjung membuatnya dengan cepat melupakan kejadian mengenaskan itu.
***
"Dia pendarahan lagi! Cepat ambilkan gunting!" Teriak seorang lelaki kepada semua orang yang menunggu kabar kelahiran di luar gubuk.
Semua orang panik kala itu. Bagaimana tidak, bayi yang dinanti-nanti oleh seluruh warga desa akan lahir ke dunia ini. Konon katanya, bayi kembar akan membawa keuntungan dan pengaruh baik bagi si empunya dan wilayah sekitarnya. Mereka percaya bahwa bayi itu yang akan membawa desa mereka ke peradaban yang lebih cerah.
"Ini gunting yang 'Ajuz minta," lelaki itu kemudian memberikan dua benda yang didapatnya dari salah seorang warga kepada wanita tua yang tengah duduk di dekat istrinya.
Tampak tangannya sangat lihai memainkan gunting. Wanita itu memang sudah dipercaya oleh penduduk setempat dalam hal lahir-melahirkan. Lima puluh tahun sudah ia melakukan pekerjaan seperti ini dan hanya menerima bayaran seikhlasnya.
"Maafkan aku, Salman. Aku sudah berusaha sebisa mungkin, tetapi takdir berkata lain. Istrimu yang tercinta ini sudah.."
Wanita tua itu tak dapat melanjutkan kalimatnya. Wajahnya menunjukkan kesedihan. Air perlahan menitik di ujung matanya.
"Apa maksudmu, 'Ajuz?"
Lelaki itu mulai meneteskan air mata. Ia memegang pundak wanita itu, menggoyangkannya, dan mengulang-ulang kalimatnya.
"Istriku kenapa? Kenapa kalimatmu berhenti sampai di sana?" Wanita tua itu tak menjawab pertanyaannya.
Ia pasrah dan terduduk lemas. Ia masih tak percaya. Tak percaya bahwa istrinya bisa meninggalkannya dalam keadaan seperti ini. Padahal mereka sudah berjanji akan membesarkan kedua putrinya hingga mereka menikah.
***
Langit tampaknya ingin berdamai dengannya. Perlahan hujan menghentikan tangisnya dan langit tak lagi bergemuruh. Di ujung sana, tampak kilauan cahaya oranye yang berjejer rapi menantinya.
"Pertanda sudah dekat ke daratan," pikirnya.
Sekuat tenaga ia mempercepat kayuhnya. Semakin lama, semakin dekat ke daratan yang luas penuh pasir itu. Tangannya berhenti, lalu dikibaskannya berkali-kali. Mengarungi lautan samudera kurang lebih empat ratus kilometer sama saja menjemput ajal. Tapi baginya, inilah yang harus dilakukan. Tak perduli orang berkata apa.
Perahunya sudah berdiri di atas pasir. Ia lalu membuka mantel plastiknya dan beranjak dari kursi nahkoda, berjalan ke bagian belakang perahu dan mencari suatu peti di antara tumpukan-tumpukan peti. Tangannya melesat ke bagian paling bawah, tertulis di sana bacaan 'tsurayya' pada bagian samping balok kayu nan udah usang itu. Ia turunkan satu persatu peti-peti itu. Tampaklah 2 peti yang bentuk dan warnanya persis sama.
YOU ARE READING
TAK SAMA
General FictionSarah dan Maria. Mereka lahir dari zigot yang sama. Namun tak seperti kembar lainnya, mereka sangat berbeda. Yang satu memakai hijab, yang satu tidak. Yang satu pergi ke mesjid, yang satu pergi ke gereja. Yang satu melakukan sholat 5 waktu, yang sat...
