~Bagian 2~

18 8 7
                                    

Happy reading ~

🐻🐻🐻

Huft.... Akhirnya selesai. Dengan langkah riang, Rea berdiri dan berjalan mencari tangga untuk turun.

Tangga sudah di depan mata ketika indra pendengaran dan penciumannya mengirim sinyal aneh yang mengarah pada satu ruang kelas. Rea melangkah mengikuti sinyal yang dikirim indranya. Semakin ia melangkah, semakin jelas  itu.

Asap rokok!

Sedikit keberanian, Rea berjinjit, ingin mengintip apa yang terjadi di dalam ruangan itu. Matanya melotot seiring dengan mulutnya yang menganga menyaksikan adegan di dalam sana. Seorang cowok terlihat sedang memegang satu batang rokok. Tak hanya itu, yang paling membuat Rea kaget adalah seorang gadis yang duduk tepat di pangkuan cowok itu. Rambutnya berantakan, begitu pula dengan pakaiannya. Suara kecupan terdengar mendominasi ruangan itu.

Mereka berciuman di ruangan yang sepi!

Rea menggeleng pelan. Tak seharusnya ia melihat hal-hal yang tak patut dipandang itu. Buru-buru ia berbalik dan berlari meninggalkan tempat laknat itu. Namun sayang, ponselnya tidak ia pegang dengan erat dan akhirnya terjatuh di atas lantai dengan suara yang keras. Rea buru-buru memungut ponselnya dan berlari.

“Berhenti atau Lo bakal menyesal!” Suara serak itu menembus gendang telinganya, terdengar mendominasi dan sarat akan perintah.

Tapi tidak, Rea tidak akan berhenti. Di saat tangga sudah di depan mata, untuk apa Rea berhenti? Kakinya terus berlari sekuat yang ia bisa, sesekali menengok ke belakang, khawatir jika cowok tadi mengikutinya.

Rea bernapas lega di tengah larinya ketika ia bisa melihat gadis tadi memeluk punggung cowok itu sehingga bisa dipastikan cowok itu tidak akan mengejar Rea, walau sorot mata dari cowok itu memancarkan api yang dingin, Rea tidak peduli. Baginya pergi jauh dari sana adalah yang terbaik yang harus ia lakukan saat ini.

****
“Rea, Lo dari mana aja, sih? Kok pake acara lari segala?” tanya Diza begitu Rea sampai di hadapannya dengan dada yang kembang kempis dan keringat yang bercucuran.

Sorry, guys. Sepertinya kita harus cepat pulang. Soal tugasnya, kirim saja foto dan namanya ke gue. Biar gue yang selesaiin,” jawab Rea.

Diza, Naya, dan Raihan mengerut bingung. “Ada apa sih, Re?” Kini Raihan yang bertanya.

“Tadi gue keciduk lagi ngintip satu cowok lagi ngerokok di lantai atas.” Rea sengaja membeberkan masalah rokok saja. Ia tak ingin menyebarkan aib bahwa cowok yang ia intip tadi sedang melakukan hal-hal yang tak pantas di sekolahnya ini.

Raihan menanggapi jawaban Rea dengan rotasi matanya. “Ya elah, Re. Itu tuh biasa kalau di sekolah ini. Cuman mungkin karena kehidupan lo yang terlalu polos, jadi ya gitu deh.” Raihan berkata dengan santainya sembari mengedikkan bahunya tak peduli.

Rea melotot. Ingin sekali ia menceritakan mengenai adegan yang tak pantas itu. Namun, sepertinya ia harus menutup rapat hal itu ketika matanya tak sengaja menangkap cowok itu menuruni tangga dengan cewek yang tadi diciumnya. Walaupun tatapan cowok itu tidak tertuju padanya, Rea tetap takut. Ia khawatir cowok itu mengalihkan pandangannya dan menyadari keberadaannya,

“Rai, antar gue pulang sekarang! Cepetan!” Rea sudah memegang tangan Raihan dan bersiap untuk berlari, tetapi terlebih dahulu ditahan oleh Raihan yang mengerut bngung. Begitu pula dengan Diza dan Naya yang menatap penuh tanda tanya mendapati Rea berlaku tak seperti biasanya.

“Lo kenapa sih, Re?” tanya Diza berusaha menenangkan Rea yang terlihat sangat buru-buru ingin pulang.

Rea memikirkan alasan yang tepat. Satu jawaban dengan cepat terlintas di otaknya.

“Gue mules.”

****

Shit! Ngapain sih kamu pake acara nahan aku segala?” Cowok itu memuntahkan amarahnya pada cewek di hadapannya.

“Bagaimana kalau dia bocorin peristiwa tadi ke kepsek?!” lanjutnya dengan emosi yang meluap-luap. Cowok itu tak habis pikir. Bisa-bisanya di saat dia ingin mengejar gadis yang tadi memergokinya sedang berciuman dengan Keisya, cewek di hadapannya ini malah menahan lengannya. Tak tahukah ia bahwa cowok itu hanya ingin aman dari orang tuanya. Bagaimana jika gadis itu sempat memotret kegiatannya tadi dan melaporkannya kepada kepala sekolah yang kemudian membuat orang tuanya dipanggil oleh pihak sekolah?

“Sudahlah, Ares. Aku yakin cewek tadi gak bakal macem-macem sama kamu,” ujar Keisya santai. Andai tatapan bisa membunuh, maka habislah Keisya di mata cowok yang dipanggil Ares itu.

Ares mengalihkan tatapannya dari Keisya, berusaha menahan emosi yang menggelegak dalam dadanya. “Ya sudah. Gue antar lo pulang, ya?” Keisya mengangguk senang. Ia menggelayut manja di lengan Ares.

Tiba di parkiran, Keisya dengan manja meminta Ares memakaikan helm untuknya. Dituntunnya tangan Ares untuk meraih helm yang ia genggam.

“Apaan sih, Kei?” protes Ares.

Keisya merengut tak suka. “Jadi, kamu gak mau makein helm pacar sendiri?”

Ares berdecak kasar. “Jangan lebay, deh.” Pasrah dengan Keisya, tangannya memakaikan helm di kepala Keisya.

Selesai dengan Keisya, Ares segera naik ke atas motornya, diikuti oleh Keisya di boncengannya. Cowok itu sudah siap menginjak gas ketika matanya tak sengaja melihat sebuah motor keluar dari area sekolah. Walau dari jarak jauh, Ares mengenali pakaian itu. Gadis itu. Ya, tidak salah lagi dialah yang memergokinya tadi.

“Kok bengong aja, Babe?”

Ares menggeleng pelan. Ia segera melajukan motornya dan mengantar Keisya pulang. Urusan gadis itu, Ares akan memikirkannya esok. Lagipula untuk mengenalinya, itu tidak sulit. Sewaktu berlari menghindarinya, gadis itu sempat menoleh dan membuat Ares dapat menyimpan wajah gadis itu dalam memorinya.

Lihat saja nanti.

*****

FreezeNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ