Sebelum Namjoon tahu makna hidup, dia terdampar.
Namjoon terkapar di pinggir jalan ketika langit masih terang. Sedang kendaraan lalu lalang. Namjoon terdampar atas kehampaan yang merasuki jiwanya, nadinya, otaknya, dan hatinya (itu pun kalau dia masih punya). Bibirnya mirip sungai kering, menetes darah dari belah bibir. Matanya sayu, ditumbuhi akar merah yang ingin sentuh pupilnya nan kosong.
Hari ini panas sekali.
Sayangnya, keajaiban tidak datang dua kali.
Kim Namjoon mengusap peluh yang turun dari pelipisnya. Dia bakal meminum setetes sisa ekskresinya kalau saja tidak ada yang melihat. Tapi rupanya, terlentang di pinggir jalan mengundang pasang mata untuk dipaku. "Itu tidak jorok kalau kalian tidak punya hal lain untuk diminum." Namjoon menggumam. Hanya menggumam, sebab kerongkongannya terlalu rindu air sampai-sampai sulit keluarkan suara.
Tenggorokan Namjoon perih.
Perut Namjoon keroncongan sejak tadi pagi, terus keluarkan bunyi dan tidak bergetar. Sepertinya asam klorida di lambung Namjoon naik sampai ke esofagusnya, menghimpit paru-parunya. Paru-paru Namjoon sesak, tetapi dia tidak tahu kalau berbaring bakal membuat makin sesak. Tapi, apakah Namjoon memang tidak tahu tentang itu?
Lantas, mengapa bisa jadi seperti ini? Mengapa Namjoon terkapar lemah di pinggir jalan? Mengapa jiwa Namjoon hampa? Mengapa tidak ada yang membantu, atau sekadar menawarinya sebotol air bersih?
Oh. Pertanyaan yang terakhir terdengar retorik.
Tidak ada. Jawabannya tidak ada. Alasannya terlalu berbelit-belit, jadi anggap saja tidak ada, sama seperti bagaimana orang-orang menganggap Kim Namjoon tidak ada. Ini sebabnya Kim Namjoon terdampar di sini. Dia harus berbaring di atas tanah sebelum memutuskan mana yang lebih baik, bunuh atau terbunuh.
Tangannya merogoh saku jaket sebelah kanan, meraba dan mendapati kotak rokok yang penyok. "Ini bukan milikku." Lantas, dia membukanya dan melihat sebatang lintingan kertas di dalam sana. Sekiranya rokok ini tidak ada, Namjoon bersumpah tidak akan merokok lagi. Sekarang, Namjoon berharap bahwa dia berhenti merokok meski kenyataannya dia sedang menyalakan sebatang korek api yang tadinya tersimpan di saku jaket sebelah kiri. Rokok pun dinyalakan.
Namjoon mengerang.
Tenggorongkanya yang mengerang. Mungkin paru-parunya sudah batuk-batuk dan berdoa supaya sakit saja, supaya Namjoon paham bahwa rokok itu tidak baik. Tetapi sebenarnya, siapa yang tidak paham kalau rokok itu tidak baik? Tetapi, lagi-lagi, memangnya ada hal lain yang bisa dimasukkan ke tubuhnya sekarang?
Yah, dunia diancam pemanasan global. Rasanya seakan-akan mentari berjalan mendekat bumi. Makanya panas. Makanya mudah haus. Makanya kulitnya mengelupas.
Setelah Namjoon terbatuk-batuk berkali-kali, akhirnya paru-parunya bisa bernapas lega. Soalnya, sisa rokok itu Namjoon buang ke tempat sampah. Iya, Namjoon bangun dari terkaparnya. Tapi jiwanya sepertinya masih dalam keadan yang sama.
Ini adalah sebuah pemberontakan. Pemberontakan Namjoon akan massa. Apa saja. Pokoknya Namjoon memberontak. Namjoon memberontak, sebab dia tak punya uang untuk beli bahan konsumsi. Namjoon memberontak, sebab tak ada yang berikan sedikit empati. Namjoon memberontak, sebab dia tak mau terbunuh.
Tetapi pemberontakan ini berujung pada kelaparan yang amat sangat.
"Mataharinya seperti telur." Namjoon mengambil napas. "Tuhan, bolehkah aku memakannya?"
Dan Namjoon dengar, Tuhan berbisik, "Iya." Mungkin, cuma Tuhan yang mendengarkan pemberontakan Namjoon terhadap massa.
Quarantine,
Juni 2020*
Note: ga tau lagi :"D aku terdengar menyeramkan. Super duper menyeramkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dia di Bawah Hujan Meteor
FanfictionDia selalu memuntahkan isi perutnya, hingga suatu hari tak ada lagi makanan untuk dimuntahkan.