#4 Mendekap Duka

1 0 0
                                    

Masa istirahat di sekolah tiba. Orang-orang tentu berlalu lalang. Ke kantin untuk mengisi energi yang menguras banyak pikiran, ke lapangan untuk mencari hiburan di atas derita ujian, atau bahkan ke kelas lain untuk bertemu dengan sang pujangga.

Aku berdiam saja di kelas. Melepas kerinduan pena dari lembar kosong yang sedari tadi menanti untuk dilukis. Jemariku bergerak sana-sini, menggambar satu sosok yang entah siapa. Lalu aku kembali ke dalam diam sebagai sela waktu menikmati ketiadaan.

Kawanku yang tengah berdiri di antara ruang dan koridor, ia memanggilku. Berkata bahwa ada seseorang yang mencariku. Katanya perempuan. Dan aku penasaran. Namun pada saat itu, rasa malasku jauh lebih besar dari rasa penasaranku. walau aku masih kelas satu SMA, aku telah mengemban jabatan sebagai kaum rebahan paling berkompeten. Aku menjawab "suruh ia masuk, jika ingin bertemu". Tak ada balasan. Dan tak seorangpun yang menjumpaiku. Hanya tawa-tawa kecil yang teriring diantara mereka, lalu menatapku sesekali. Entah karena apa. Aku tak mengapa.

Jemariku masih melaju meneruskan coretannya. Sambil mendengar syiar cover lagu yang diciptakan teman kelasku dengan petikan merdu yang dari gitar tua. Reggae menjadi musik paling membuat mereka terbang bebas, sesekali diselingi teriakan di setiap reff sebagai pelampiasan hiruk pikuk betapa pahitnya kehidupan.

Matahari masih menjadi cahaya yang menusuk. Tiada segumpalan awan yang mampu menahan teriknya kala ini. Memompa darah dalam arteri, mengisi gembira dalam pori. Memanas nadi dalam raga, menguap rasa pada jelaga.

Dan akhirnya aku bosan dengan rutinitas gambarku. Untuk membunuh sepi yang mulai membebani. Aku memberanikan diri melawan gravitasi dari kursi lalu tegak berdiri. Langkah demi langkah membuat kaki ini terus bergerak maju menuju sekawanan di pintu kelas yang tadi sempat aku menjadi bahan pembicaraan. Mungkin.

"kemana dia?" kataku kepada mereka. Aku memulai percakapan dengan secuil pertanyaan mengenai perempuan yang mencariku tadi. Sayangnya, perempuan itu telah kembali ke hunian kelasnya.

Tak lama, dering lonceng kembali menggema menandakan pembelajaran kembali berlanjut. Entah apa yang para guru rencanankan, aku baru saja mulai menggaulkan diri bersama sekumpulan kawan, mengapa mereka merenggut masa itu.

Di saat pembelajaran sedang asik-asiknya. Kembali. Suara yang mengetuk penasaranku. Kembali meneriaki namaku. Suara itu adalah sebaik-baiknya penggugur fokus. Apa mungkin aku halusinasi dengan begadang mengerjakan tugas adalah sebabnya. Apa iya?

Mendayu-dayu merenggut titik api pada pembahasan. Bibir siapa yang tidak segan memanggilku dari luar sana. Seolah musik klasik turut mengiringi di balik gemanya.

Tiap detik berdetak sebagai pesawat yang siap lepas landas dengan rasa penasaran sebagai pilotnya. Kini pikiranku dibalut ribuan pertanyaan di atas tapak gelisah. Dan aku, kembali tenggelam betapa dalamnya palung nestapa. Buyar. Seketika lamunanku murka tatkala kawan menegurku bahwa namaku telah lewat di masa absen tadi. Bodoh. Bagaimana aku bisa mendengarkan panggilan itu di kala sebelumnya aku diremuk oleh rasa ingin tahu.

Buku tersaji di depan mata. Tergeletak tanpa sengaja di atas meja. Lalu kawanku menepuk kemudian bercerita. Diawali sebatang pertanyaan "apakah kau mengenal suara yang memanggilmu tadi?". Pertanyaan itu telah menjawab satu pertanyaan utama bahwa aku tidaklah halusinasi. Tetapi tunggu, masih ada ribuan tanya yang mengantre bak kuis promosi berhadiah dua juta. "Tentu aku tak mengenalnya" jawabku dengan mengabaikan penjelasan guru.

"Orang itu adalah perempuan yang mencarimu di masa istirahat tadi".

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 03, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Mendekap DukaWhere stories live. Discover now