Bisakah?

1.3K 117 56
                                    

Malam ini acara resepsi pernikahan Siska akan digelar. Nampak Nendra serta Bunda sudah siap berada di rumah Nesya untuk berangkat bersama. Mengingat jarak dari rumah dengan tempat resepsi agak jauh, membuat mereka berangkat lebih awal.

Bunda Nendra yang semula duduk di sofa, beranjak mendekati Nesya. Seragam keluarga yang sengaja ia buat untuk Nesya sungguh sangat pas dan cocok dipakai Nesya.

"Ya ampun! Nesya, kamu cantik banget Nak." Bunda memuji penampilan Nesya, namun ekor matanya memperhatikan ekspresi Nendra yang tertegun menatap Nesya.

Hari ini Nesya memakai kebaya yang sama dengan Bunda Nendra,namun berbeda model. Kain jarik berbahan satin silver yang dipadukan dengan brokat polos berwarna toska, rambut yang dibiarkan terurai rapi kesamping, serta dandanan minimalisnya membuat Nesya tampak anggun tampak serasi dengan penampilan Nendra yang memakai batik dengan warna senada.

"Bunda, Nesya jadi malu. Sudah Bunda, Kita berangkat sekarang?" Nesya menggamit lengan Bunda Nendra.

"Ndra, mau sampai kapan kamu berdiri disitu? Ayo berangkat." Suara Bunda menyadarkan Nendra. Sedang Hendri yang sejak tadi menyadari gelagat Nendra, tersenyum jahil serta mengerling pada Bunda. Entah apa yang akan mereka rencanakan.

...

Sesampainya mereka di tempat resepsi, Bunda sengaja menarik Hendri menjauh dari Nedra dan Nesya dengan dalih ingin melihat-lihat tempat resepsi sebelum acara dimulai.

"Ekhm," sebuah deheman menyapa mereka sebelum ada yang memulai obrolan antara keduanya.

"Kalian serasi," Suara seorang wanita membuat mereka seketika berbalik untuk tahu siapa pemiliknya.

"Rumi?!" Nesya dapat melihat sekilas Nendra tampak menegang ditempatnya dan berusaha menormalkan ekspresinya. Entah apa yang di rasakan pria disampingnya ini. Namun yang Nesya lihat, masih ada tatapan memuja dari mata Nendra untuk Rumi yang berdiri didepan mereka dengan menggendong putrinya.

"Hai, kalian datang juga?" Nesya berusaha tersenyum menyapa Rumi dan Rama.

"Hai, Nes. Nggak nyangka kita ketemu lagi. Aku kira tadi salah ngenalin orang, habisnya kamu cantik banget sih." Rumi tersenyum pada Nesya.

"Kita diundang sama Arfan, suami Siska." Rama menarik pinggang Rumi posesif saat melihat tatapan Nendra pada istrinya.

"Kita kedalam dulu ya, kasihan anak-anak kelamaan diajak berdiri. Kita duluan ya Nendra Nesya," Rumi menyudahi perbincangan ketika melihat tatapan cemburu dimata suaminya.

Saat keluarga kecil itu telah hilang membaur dengan tamu undangan yang datang, Nesya menatap Nendra yang masih terpaku menatap pintu dimana Rumi telah menghilang.

Menghela nafas pelan, dia berusaha tersenyum. Tanpa Nendra berkatapun, Nesya tahu jika Nendra masih memiliki perasaan pada Rumi.

"Dia semakin cantik, beruntung sekali Mas Rama jadi suaminya." Nesya berusaha mencairkan suasana. Mengajak Nendra menepi duduk di sudut yang tidak banyak dilalui oleh tamu undangan.

"Iya, Rama sungguh beruntung." Nendra tersenyum meski dadanya terasa nyeri setiap dia melihat Rumi.

Nendra sudah berusaha melupakan perasaannya pada Rumi selama beberapa tahun belakangan ini, berdamai dengan patah hatinya yang ternyata hinga kini seperti tidak membuahkan hasil.

Nesya paham perasaan Nendra, karena saat ini pun dia juga mengalami mencintai seseorang yang tidak mencintainya. Hanya bedanya dia masih memiliki kesempatan untuk meraih cintanya. Nesya beranikan menepuk pelan pundak Nendra untuk memberi semangat.

"Kamu nggak sendiri, Ndra." Nesya menatap lekat Nendra yang menunduk disampingnya.

"Aku udah coba, Nes. Mungkin emang dia bukan jodoh aku. Aku juga pengen bahagia kayak mereka, tapi gimana caranya?" Nendra terkekeh menatap lurus kedepan, mengingat betapa dulu dia berjuang buat dekat dengan Rumi, namun takdir berkata Rumi bukan jodohnya.

"Jangan berusaha melupakan, karena semakin kamu berusaha melupakan hanya akan membuat perasaanmu semakin dalam padanya. Mencoba membuka hati, mungkin itu yang kamu butuhkan. Kamu terlalu fokus pada melupakan sehingga kamu nggak sadar jika selama ini ada seseorang yang diam-diam menyukai kamu," Nesya menatap mata Nendra dalam.

"Maksud kamu?" Nendra tampak tak mengerti dengan maksud Nesya.

"Aku mau bantu kamu buat membuka hati, bolehkah?" Entah keberanian dari mana, Nesya mengatakan perasaannya secara tak langsung pada Nendra.

"Nes? Kamu?" Nendra tidak menyangka kalau selama ini Nesya yang telah dia anggap sebagai sahabat ternyata memiliki perasaan lain padanya.

"Kasih aku kesempatan, Ndra. Satu bulan. Hanya satu bulan saja, biarkan aku mengenal kamu lebih dekat. Jika setelahnya kamu nggak merasakan apapun, aku akan mundur", Nesya menekan segala gengsinya. Mungkin sudah waktunya Nendra tahu perasaannya

"Kamu yakin ngomong gini sama aku Nes?" Nendra memastikan kembali perkataan Nesya. Dia tak pernah menyangka Nesya berani mengatakan hal ini.

"Ternyata kalian disini. Ayo! Acaranya hampir dimulai, kalian sapa dulu keluarga yang lain. Tadi Budhe kamu nyariin, dikira kamu nggak dateng." Bunda datang saat Nesya akan menjawab pertanyaan Nendra. Kemudian mulai menggamit lengan Nesya mengajak untuk masuk kedalam gedung.

...

Selama acara berlangsung, Bunda memperkenalkan Nesya pada keluarga yang ditemuinya.

"Mbak Rasmi, apa kabar? Ini siapa? Cantik banget sih, calon mantu ya?" Salah satu kerabat menyapa Bunda Nendra.

"Eh, Mardina. Alhamdulillah baik. Ini kenalin, Nesya temen Nendra sama Siska," Bunda kemudian beralih menatap Nesya sambil memperkenalkan sepupunya, "Nesya, ini Mardina adik sepupu Bunda." Nesya menganggukan kepala sebagai tanda hormat kemudian menyalami sepupu Bunda.

"Saya Nesya, Tante." Nesya tersenyum.

"Mbak Rasmi jodohin aja ini si Nesya sama Nendra, siapa tahu jodoh. Sopan gini anaknya, pas ini kalau sama Nendra. Serasi pasti." Mardina tertawa sambil menepuk lembut pundak Nesya.

"Pengennya gitu Mar, tapi coba tanyain sama anak-anak langsung, mau nggak aku jodohin. Kalau aku udah cocok sama Nesya." Bunda tersenyum menanggapi ucapan sepupunya.

"Ndra! Kesini bentar," Panggil Mardina ketika melihat Nendra berjalan mendekat ke arah mereka.

"Bulik Mar apa kabar?" ucap Nendra setelah mendekat ke arah mereka.

"Sehat, tambah sehat lagi kalau kamu buruan nyusul siska nikah." Mardina terkekeh menggoda Nendra.

"Do'akan saja Bulik, biar ketemu jodohnya." Nendra tersenyum canggung menanggapi perkataan Mardina.

"Ini udah ada didepan mata, ngapain mesti cari lagi? Tinggal pepet aja." Mardina mengedip jahil ke arah Bunda Nendra.

Nendra menoleh ke arah Bunda dan Nesya, kemudian bayangan perkataan Nesya yang memintanya membuka hati membuatnya tanpa sadar tersenyum. Sedang Nesya yang ditatap, memalingkan wajahnya agar tak ada yang melihat perubahan warna kulitnya yang memerah karena malu.

"Doakan saja Bulik." Nendra berucap tanpa mengalihkan pandangannya dari Nesya.

...

"Nes, bisa ikut aku sebentar?" Nendra menarik lembut tangan Nesya ke arah sudut ruang setelah Nesya mengaggukkan kepalanya.

"Kenapa Ndra?" Nesya menahan degup jantungnya. Entah kenapa setelah pembicaraan sebelumnya dengan Nendra yang berujung meminta kesempatan untuk membuat Nendra melihat cintanya, Nesya merasa jantungnya berdegup lebih kencang saat berdekatan dengan Nendra.

"Bisakah kita saling memulai? Aku akan berusaha membuka hatiku." Nendra menggenggam lembut telapak tangan Nesya serta menatap Nesya penuh kesungguhan.

"Kamu serius?" Nesya mencari keraguan di mata Nendra, tapi tak sedikitpun ditemukannya.

"Iya, Sesuai yang kamu minta. Dan aku akan mencoba." Nendra berkata dengan kesungguhan.

"Sebulan, Ndra. Dan apapun keputusan kamu, aku akan terima." Nesya berusaha tersenyum meski dia ragu apakah hati Nendra akan terbuka untuknya.

"Makasih, Nes." Nendra spontan memeluk Nesya, membuat Nesya menegang kemudian membalas pelukan Nendra. Tanpa mereka sadari, Bunda dan Hendri melihat apa yang keduanya lakukan tak jauh dari tempat mereka bicara.

"Semoga kali ini kita berhasil ya Hen." Bunda tersenyum haru sedang Hendri tersenyum penuh arti.

♥♥♥

Cinta Tanpa Syarat (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang