Laraku, Pilumu

5 0 0
                                    

Bahagia itu sebuah pilihan kata orang,
ya...
pilihan bila memang ada yang dipilih atau mampu untuk memilih.
Tetapi apa ada cara agar bahagia bisa kekal?
Terus menerus hanya sementara dan sekejap kata.

Bahkan untuk menuju bahagia harus melalui luka yang terdalam.

Lalu berpindah pada luka yang lainnya.
Luka yang mungkin akan selamanya meninggalkan bekas.
Hilang menjelma debu langit, tak ada kata dan juga cerita.
Sebab tempat berlabuhnya rasa telah pergi, meninggalkan sejuta rasa dengan tanda tanya.

Ini Tuhan mungkin sedang bercanda,
atau aku yang tak tau membaca aksara jiwa.
Terkadang, menoleh dan menikmati luka sendiri adalah candu.
Pahit namun tetap jua dicumbu.
Dan diksi, selalu menemukan cara membenarkan diri.

Bahkan semakin nikmat di kala air mata menemani.
Seperti jasad mati namun tetap bernurani,
waktu seakan berhenti.
Tercekik sampai kelelahan berkelahi dengan angan.
Lalu sadar, diri ini hanya utas mimpi yang tak sejalan dengan takdir Illahi.

Bersimpuh dengan duka,
bergandeng erat dijiwa,
sebab takdir hanya ekspetasi dari sebuah pikiran.

Biarkan aku reguk dan resapi getar di jantung, yang memuaikan rasa hingga ke nadir.
Atma yang terlunta,
merangas di tepi pucuk pengharapan, lantas merenggang,
dan memilih saling melepas,
mengejar impian yang bersimpang jalan.

Bimbang menyelimuti atma —Tetap di dalam kedukaan atau meraih sukacita.
Berlari dan pergi namun akan terjatuh lagi untuk kesekian kali,
atau berhenti dan terus bermimpi sedang dia telah berganti simpati.
Tak mengapa, jika harus pergi dan belari, lagi.
Terkadang nyerinya masih terasa meskipun permukaannya mengering sempurna, setidaknya pernah berjerih hingga hampir mati.

Meski kini peti mati harus dikubur sedalam mungkin.
Dalam lara yang kupuja dan nikmatnya kepedihan,
kita sudahi cerita usang tentang mencinta.
Sebab yang tersisa hanya untaian duka.

Dalam gunung yang membuat napasku menderu tak terkendali,
aku sengaja merumitkan sesuatu yang mudah,
melebih-lebihkan hal sederhana,
agar aku berhenti memujamu.
Pergilah, sebab diri sudah ikhlas melepas jiwa, berhenti memuja pada berhala yang sudah tak berhati.

Selamat jalan kiasan rasa yang kembali menjadi asa.
Kita telah purna, tanpa ada yang tersisa kecuali kisah yang sengkarut di mana-mana.
Kisah yang mengharukan seluruh  bumantara.
Begitu pasrah —begitu tabah pada petang yang mulai remang,
lalu malam menghampiri, gelap menghiasi langit tanpa bintang.

Harapku bahagia bisa dilakukan seperti membalikan telapak tangan.

Seutas harap kuberikan padamu,
apakah bisa membuatmu tenang?
Aku percaya tidak.

Aku tidak mengerti,
ketika manusia menganggap itu kebahagiaan,
bukankah itu sebuah kesedihan?

Lalu, akan ada hujan di setiap tangis kesedihan,
akan ada kepedihan di setiap keterpurukan,
dan akan ada tawa di setiap kebahagiaan....

Masa Depan Tak BerimbuhanOnde histórias criam vida. Descubra agora