04. Pertolongan Nyata

En başından başla
                                    

Sembilan bulan berlalu dengan penuh penderitaan. Lina dibawa ke rumah sakit, melakukan persalinan secara sesar oleh dokter dan perawat di sana. Sekali lagi, seolah belum cukup. Lina mengalami pendarahan. Lalu mau diceritakan bagaimana lagi? Bayi pembawa sial itu selamat, kelopak mungilnya terpejam dengan kedua tangan mengepal, bibirnya terisak-menangis keras, layaknya, bayi baru lahir pada umumnya. Lina merenggut nyawa seusai persalinan. Dan hal itu cukup membuat emosi Istari naik ke ubun-ubun.

Istari menjerit memanggil Lina berulang-kali, mengguncang tubuhnya, wajah Istari memanas mengeluarkan isakkan demi isakkan, beserta, air yang turun di pipi. Semua ini terjadi karena ulah bayi tak terduga itu. Iris Istari menyorot bayi mungil yang digendong perawat penuh penghakiman. Harusnya yang mati adalah bayi itu. Harusnya Lina tetap hidup bahagia seperti bayangannya. Dan seharusnya Lina tidak mengalami penderitaan menyakitkan karena pria tidak tahu diuntung itu! Jika saja, sejak awal, tak ada bayi dalam kandungan Lina, wanita itu tak perlu menanggung penyiksaan berkali-lipat dari efek kanker serviksnya. Rasa dendam itu pun tumbuh hebat hingga berkembang secara menakutkan, Istari bersumpah pada nyawanya sendiri, bahwa, seumur hidup, Istari, takkan pernah membiarkan Fiora mengalami kebahagiaan sedikit pun.

---benar-benar tidak akan pernah.

Dua minggu berlalu semenjak pemakaman Lina di gereja. Istari berusaha membujuk Erina yang sudah tua, bahwa dirinya-lah yang akan mengurus semua keperluan Fiora. Sarannya, ialah, Erina hanya perlu diam saja menikmati akhir hidup di rumah utama. Masalah kebutuhan hidup, Istari yang akan mencari solusi, lagipula perusahaan Kusuma sudah meredup semenjak Lina menderita penyakit rahim, uang pensiun dan sedikit jumlah keuntungan dari perusahaan, cukup, menghidupi Erina dan Istari sampai akhir hidup mereka, bahkan, hingga, keturunan Fiora sekalipun.

Erina menyetujui hal tersebut, mempercayai Istari begitu mudah. Meski sudah menyetujui begitu, berulang kali Erina menelfon Istari, memastikan kabarnya, yang kini tinggal di pusat kota. Untuk itu, Erina tak pernah menyangka, bahwa, keputusannya yang menyetujui keinginan Istari merawat Fiora, merupakan, keputusan yang salah.

Sampai hari itu tiba, hari di mana Erina menyadari tingkah aneh Istari, menyembunyikan fakta, bahwa, dirinya bersama Fiora telah pindah rumah dari empat tahun lalu. Selama empat tahun belakangan, Istari selalu menelfon dan berkata, bahwa, perempuan itu masih berada di tempat yang sama, pekerjaan yang sama, juga tetangga yang sama. Erina tak pernah mencurigai sikap Istari selama puluhan tahun, karena, Erina sendiri menduga bahwa kemungkinan Istari tak ingin merepotkan dirinya yang sudah tak lagi muda. Sampai, Erina mencoba mengunjungi kediaman anak dan cucunya tersebut di kota sebagai kejutan.

Tidak seperti bayangannya sendiri, rumah itu ditempati oleh orang lain. Mereka mengatakan bahwa Istari sudah sejak dulu pindah dari sana. Karena, Erina merasakan hal yang janggal, alih-alih menelfon Istari, dan bertanya dirinya sedang berada di mana, Erina lebih memilih mencari keberadaan Istari menggunakan orang suruhan dengan biaya yang cukup mahal. Tiga hari lamanya, Erina berhasil melacak keberadaan Istari. Tidak. Erina tidak langsung mengunjungi rumah anaknya tersebut, lalu, bertanya, mengapa dirinya berbohong. Tidak seperti itu. Erina lebih memilih menunggu Istari pergi bekerja, lalu, menduplikat kunci rumah Istari menggunakan orang suruhan.

Bukan tanpa alasan Erina melakukan hal tersebut, tetapi karena, Erina menyadari, bahwa, cucunya, tak pernah keluar dari kediaman rumah, selain Istari yang pulang-pergi bekerja. Erina masih mengingat jelas, Istari bercerita bahwa Fiora bersekolah di sekolah umum seperti anak normal kebanyakan, itulah juga, mengapa Erina selalu mengirimkan uang setiap bulan. Tetapi, pada kenyataannya, yang Erina lihat malahan guru privat bebeda-beda, silih berganti, yang mendatangi kediaman Istari, yang menurut perkiraan Erina sendiri untuk mengajari Fiora.

Maka, ketika waktu yang tepat sudah tiba. Istari yang pergi bekerja pagi hari membuat Erina segera membuka pintu rumah anaknya tersebut. Pandangan wanita paruh baya itu berpendar, melihat sekeliling, lalu, menemukan ruangan terkunci. Netra coklatnya membulat, ketika, indra pendengaran Erina, menangkap, suara gesekkan besi rantai. Suara itu berasal dari ruangan berpintu coklat dekat dapur. Erina menghampiri segera, tangannya mengetuk gelisah memanggil nama Fiora.

Tak mendengar sahutan, wanita berambut putih itu, bergerak gelagapan, matanya dengan cepat menyorot tajam ke sana-kemari, mencari kunci kamar. Tangan berkeriputnya, mengobrak-abrik laci, juga beberapa bagian tempat. Saat dirinya menemukan benda berkilat, di bawah kasur, yang diduga ditempati Istari, Erina segera mengambilnya, lalu membuka ruangan Fiora segera.

Erina menutup bibir terperangah, matanya membulat, kaki wanita tua itu seakan tak bisa berdiri normal, akibat, tak kuasa menahan keterkejutannya sendiri melihat Fiora duduk di atas ranjang dengan leher yang terikat rantai. Tubuh Erina gemetar. Fiora mengangkat wajah, kemudian menyorot Erina lugu tanpa warna, layaknya, manusia yang sudah tak lagi bernyawa. Tangis Erina pecah seketika. Enam belas tahun, Erina membiarkan Fiora diurus oleh Istari dengan begitu kejam, tanpa, mencoba mencari tahu bagaimana perlakuan anaknya tersebut ketika merawat cucunya diam-diam. Erina sesegera mungkin berjalan cepat, menghampiri Fiora, kemudian, memeluknya kuat-kuat. "Maafin Oma sayang, maafin Oma. Apa yang terjadi sama kamu?"

"Oma?" lirih Fiora mengabaikan rasa perih di sudut bibir, ketika, berbicara. Fiora tak pernah tahu, bahwa, dirinya memiliki seorang nenek cantik dengan warna iris serupa dengan iris miliknya. Setiap hari, setelah empat tahun berlalu dari kejadian dirinya, sudah, tak bisa menemui Ravin lagi, Fiora tumbuh berkembang. Rambutnya memanjang hingga semata kaki, kulitnya pucat mengurus, ternodai, lebih banyak bekas luka biru, kelopaknya menghitam, karena, tak pernah tidur dengan nyenyak. Fiora tak bisa lagi bergerak seperti di tempatnya dulu, bisa mengelilingi kamar atau berputar-putar ke sana kemari dengan bebas. Ruang bergeraknya terbatas, rantai yang mengikat lehernya akan mencekik Fiora bila perempuan itu bergerak berlebihan. Setiap ingin menuju kamar mandi untuk melakukan ritual panggilan alam, Fiora harus bersabar, tetap, memakai rantai untuk masuk ke kamar kecil itu, kecuali aktivitas mandi; Istari akan berbaik hati melepas ikatan Fiora karena tahu bahwa besi rantai akan mudah berkarat bila sering terkena air.

Erina mengelusi rambut hitam Fiora, air matanya berjatuhan. "Kamu... gimana bisa berakhir sampe tersiksa kayak gini selama bertahun-tahun, nanggung dosa yang bahkan kamu nggak tahu kesalahan apa yang udah kamu buat." Fiora tertegun. Entah mengapa rongga dada Fiora terasa hangat, setelah, seseorang yang mengaku oma-nya tersebut, mengerti akan kegundahan yang dialami Fiora selama ini. Fiora hanya... hanya merasa telah dianggap sebagai manusia pada umumnya, bukan lagi, sebagai kesialan, karena, sudah lahir di dunia. Rasa itu terus membuncah, membuat sesak hingga seakan meledak, tubuh Fiora bergemetar. Erina mengendurkan pelukan, mengusap pipi tirus Fiora, lalu, mengecupi kedua mata gadis itu dengan lembut, seolah, Erina takut akan menyakiti Fiora jika ia melakukannya secara kasar. "Kamu sama sekali nggak salah, Nak," parau Erina kacau.

Jatuh. Air mata itu berjatuhan berulang kali, mengungkapkan kesedihannya. Tubuh Fiora bergetar, kelopaknya seakan terus membesar, seiring tangisan Fiora yang tiada henti. "Maaf sayang." Fiora mengangguk, bibirnya tergigit kuat. Erina kembali mengecup wajah si cucu. "Maafin Oma, karena, secara nggak langsung, Oma ngebiarin Tari nyiksa kamu gitu aja," ucapnya di tengah isakkan.

Fiora menggeleng, suaranya yang rendah terdengar. "Nggak Oma... nggak, i-ini bukan salah Oma." Tak pernah sekalipun, ada seseorang, yang memperlakukan Fiora sehati-hati ini, dipeluk dan dikecup halus layaknya hal berharga yang satu-satunya dimiliki. Fiora terbiasa dihancurkan dan dipatahkan. Tak boleh mengenal kata bahagia jika sudah bersama si bibi. Maka, ketika ada seseorang, yang, memperlakukannya sespesial ini, Fiora merasa amat bersyukur. Meski sudah lama Fiora mengharapkan pertolongan, dan datang dengan terlambat. Fiora tak pernah menyalahkan. Gadis itu tetap senang, bahwa, masih ada keluarga, yang, mau mempedulikan anak buangan sepertinya.

"Kita pergi dari sini ya? Oma akan pesan taksi." Erina berujar menenangkan, sembari, mengusap jejak air mata di pipi Fiora. Gadis berambut hitam itu mengangguk menyetujui. Mereka masih memiliki waktu sebelum pukul dua belas siang tiba, lalu, Istari pulang, dan menyadari ketidakadaan Fiora sendiri.

Layaknya sebuah cahaya yang mengahampiri kehidupan gelap Fiora. Cahaya redup itu memberi harapan baru. Harapan untuk Fiora merasakan kata bahagia lagi, seperti orang-orang normal lain rasakan. Dan kehidupan sebenarnya Fiora, berawal, dari sini. Kehidupan baru yang diberikan Tuhan melalui Erina demi mengejar mimpi dan cita-cita. Dongeng Rapunzel dapat berakhir menyenangkan karena Rapunzel bisa mewujudkan mimpinya bersama Flynn Rider, melihat, lentera kerajaan sedangkan kisah Fiora dapat berakhir berbeda jika gadis itu mau mengusahakannya dengan sedikit bantuan Erina Kusuma. Karena sekali lagi, memangnya siapa yang bisa menebak takdir?

a/n
entahlah saya merasa cerita saya semakin aneh aja, tapi thank you for reading my story :))

DarkpunzelHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin