23. Mas - Mbak

178K 11.3K 940
                                    

Hai masyarakat...

Dari kemaren nungguin vote genep 2rb lama amat yak 😅

______

Perlahan mata Rania terbuka. Belum bergerak Rania sudah rasakan tulangnya berserak. Astaga, Bara tidak main-main padahal Rania kira bercanda.

Rania menunduk menatap suaminya yang masih terlelap. Wajah lelaki itu tersuruk di antara leher dan dadanya. Mendekap tubuh istrinya, lengan Bara melingkari pinggang tanpa meninggalkan celah untuk Rania bisa keluar. Entah perasaan Rania saja atau akhir-akhir ini Bara memang posesif padanya.

Susah payah Rania menahan pundak Bara dengan tangannya yang masih lemas, setelah itu bergerak menjauh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Susah payah Rania menahan pundak Bara dengan tangannya yang masih lemas, setelah itu bergerak menjauh. Baru beberapa inci saja lengan Bara bergerak menariknya kembali. Lelaki itu bergelung lagi dalam tubuh istrinya.

Berkerut alis Rania perhatikan suaminya. Bertanya-tanya apakah lelaki itu masih lelap atau sudah terjaga. Dengkuran lembutnya menandakan Bara masih tidur namun kenapa rangkulan lengannya masih kuat Rania rasa.

"Bar?" lirih Rania akhirnya memanggil.

Tidak ada jawaban setelah beberapa lama. Rania simpulkan suaminya memang masih terlelap. Rania coba sekali lagi, menahan pundak Bara dan bergerak perlahan memisahkan diri. Nampaknya kali ini berhasil.

Belum benar-benar terpisah saat Bara terkesiap merasa kehilangan. Berkerut alis dengan mata masih terpejam, sambil menggerutu Bara menggapai tubuh istrinya lagi.

"Bar," protes Rania saat Bara bergelung menginginkan posisinya yang semula.

"Bar aku harus bangun," kata Rania, menunduk sambil menahan kepala Bara.

Bara melenguh sambil berkerut alis nampak tak senang.

"Baar..." Bersikeras Rania goncangkan sekalian tubuh suaminya.

"Hmmh?" sahut Bara dengan mata terpejam.

Merasa Bara sudah cukup sadar, Rania mencobanya kembali. Menahan pundak Bara lalu menarik diri menjauh. Ternyata sama saja. Sadar atau tidak sadar, memang laki-laki itu masih ingin berpeluk.

Rania menghela nafas panjang melirik jam dinding. Ingin tahu apakah tidak apa kalau mengiyakan keinginan Bara.

"Bar, aku harus bangun bikin sarapan," kata Rania menyadari sudah tidak ada waktu untuk bermalasan. "Dari kemaren belom makan loh," tambah Rania mengingatkan.

"Sarapan di luar aja," jawab Bara malas-malas dengan suara serak.

"Makan di luar juga harus bangun mandi sekarang Bar. Kalo gak gitu, nanti kesiangan."

"Hari ini aku di rumah," kata Bara. "Kamu juga. Bilang Mama aku nyuruh libur."

Rania terbengong beberapa saat. "K-kok gitu?"

"Nurut aja kenapa sih?" gerutu Bara terdengar kesal.

Rania tak ingin lagi menyangkal. "Ya udah, aku bilang Mama dulu."

Kesempatan Kedua [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang