⚠️15+ Area! Bullying - mental disorders - harsh words - blood - some crimes are here - please be smart !
____________
Tentang Zivana dan Samahita-si pencinta teh dan si mantan mafia yang doyan nyimpen susu cokelat dalam botol amer-dua orang dengan p...
Yang follow ig aku pasti nggak akan terkejut sama apa yang tersuguh di chapter ini. Karena aku udah singgung berkali-kali.
Update selanjutnya aku infokan di instagram yahh.
Jangan lupa vote dan komennya dikencengi biar updatenya lancar.
~ Selamat membaca ~
Chap 28| Di Bawah Gerimis
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
“Desember nanti, sesudah hujan menyingkirkan debu dari bahu-bahu jalanan, aku akan pulang mendapati dirimu juga rumah kita, dan belajar dari kaki bukit untuk tak beranjak dari sisimu.” —Weslly Johannes.
Setelah rampung merayakan pagi sendu dengan tangis pilu. Zivana diajak William berhijrah ke panti asuhan Kasih Ibu. Kata mereka, penat dan segala kesedihan bisa ditawar dengan senyum tabah anak-anak manis di sana. Seperti pengingat bahwa sepahit apa hidup yang kau telan harus dinikmati dengan rasa syukur. Sebab dalam kemalangan kau tidak pernah sendirian.
Beberapa bulan terakhir, mereka memang sering bertandang ke sana. Menjadi relawan dadakan, membagi nasi kotak, mainan, pakaian baru, buku-buku, dan apa saja yang anak-anak panti asuhan butuhkan. Tak jarang mereka juga jadi guru dadakan.
Seperti saat ini misalnya, William dengan penuh kesabaran mengajari beberapa anak kecil membaca dan berhitung. Sementara Zivana asyik menemani Byantara membaca majalah antariksa—bocah lelaki empat tahun yang genius—dia punya cita-cita menjadi astronot. Anaknya kalem dan sangat pembersih. Dia tidak suka bersentuhan dengan orang selain yang benar-benar dia percaya. Untuk bisa sedekat ini, Zivana butuh lebih dari sepuluh kali pertemuan.
Byantara menatap Zivana dengan pandangan prihatin. Lalu jari telunjuknya yang mungil mendarat di kelopak mata kiri Zivana yang kontan membuat gadis itu memejam.
“Kamu seperti bintang yang mati. Di sini, biasanya Tara lihat sirius menyala,” terangnya.
Perlahan Zivana membuka mata hanya untuk melihat Byantara tersenyum sumir. Anak itu menyingkirkan beberapa helai anak rambut Zivana ke samping telinga.
“Jangan bersedih—”
“Enggak kok, Tara sok tahu deh, Yaya lagi bahagia. Hahaha ...,” kilah Zivana berusaha meramu air mukanya menjadi sebahagia mungkin.
Bahkan anak kecil saja tahu bahwa hari ini dia sedang sedih-sedihnya. Sejak menginjakkan kaki ke tempat ini, perasaan getirnya tak kurang pun satu mili. Dia pikir semua bayangan tentang Samahita akan enyah dalam kepala. Ternyata salah, wajah, kenang manis yang tak seberapa, sikap menyebalkan sampai pesan terakhir yang lelaki itu kirimkan selalu menari-nari di dalam kepalanya.