⚠️15+ Area! Bullying - mental disorders - harsh words - blood - some crimes are here - please be smart !
____________
Tentang Zivana dan Samahita-si pencinta teh dan si mantan mafia yang doyan nyimpen susu cokelat dalam botol amer-dua orang dengan p...
I'm so sorry karena updatenya kelamaan ya. Entahlah, aku sedang tidak percaya diri.
Jangan lupa apresiasinya yah yorobundil. Sebenarnya, aku punya rencana update chapter 22 di feed instagram, supaya instagramku tetap aktif dan ada interaksi tapi gpp, up di sini aja.
Oke, yang 23 aku bakal up di feed instagram insyallah, jadi yang belum follow, follow dulu yah. Rencananya, ada 3 chapter yang aku update di feed instagram (random) termasuk epilog nantinya.
Jadi yang belum follow instagramku, pastikan follow yah :)
Chap 22| Kenapa Kita Dipertemukan
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
“Kamu butuh dia untuk melunturkan kelamnya bunga tidurmu yang melebihi warna hitam. Dia butuh pelukmu untuk lengah bahwa selama ini dia takut hujan. Kita, adalah saling.” —Tentang Kita; Yuanfen
Orang tak dikenal itu menusuk punggung bagian kanan Samahita sebanyak dua kali dorongan. Darah mengalir deras dari titik penetrasi ketika pisaunya dicabut paksa. Samahita berusaha tetap berdiri dan terlihat baik-baik saja meski atmanya bagai melayang ke mana-mana.
Waktu bergerak melambat—seolah memberikan ruang untuk Samahita menatap lekat dua manik mata coklat madu istrinya. Gadis itu menangis. Dasar cengeng! Samahita melega karena yang terluka dirinya. Percayalah, luka seperti ini adalah makanannya.
Dia melepaskan pelukan mereka untuk membungkuk, mengambil boneka koala Zivana yang jatuh di sebelahnya berdiri—nanti kotor karena diinjak lalu-lalang orang-orang.
Sebelum memberikannya pada gadis itu pandangannya sempat berhenti untuk mengabsen darahnya yang berceceran. Parah ternyata. Jelas. Tusukkan bertenaga itu pasti sudah merobek lapisan yang melindungi organnya. Coba dia tebak, dalamnya pasti sekitar 1,5 cm.
“Berhenti menangis!” titah Samahita.
“Mas Ama berdarah. Mas Ama, jangan pergi ya? Bertahan. Ini salah aku. Aku janji nggak akan minta jemput lagi. Maafin aku, tapi Mas Ama jangan pergi. Ini salah aku.”
Gadis itu terus menyalahkan dirinya sambil berlinang air mata. Padahal apa yang pantas membuatnya merasa bersalah? Jika keadaan ini berbalik, maka Samahita kehabisan stok waras.
Lelaki berkemeja putih tulang itu merangkum kedua bahu Zivana. “Saya tidak akan mati dengan cara sekonyol ini. Jadi berhentilah menangis.”
Adalah kalimat terakhir sebelum Samahita hambruk dengan pandangan gelap yang membawa kesadarannya pergi. Dia sekarat. Zivana melarat.