0.2 - Semesta

470 305 299
                                    

Bagai daun yang berguguran, hadirmu tak bisa ku tolak untuk datang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bagai daun yang berguguran, hadirmu tak bisa ku tolak untuk datang.

-Perfect Things-

Langit malam menghitam, angin berembus kencang. Sahara menengadahkan kepalanya, sepi tanpa bintang yang bertebaran. Gemuruh petir mulai menggelegar, menandakan bahwa sebentar lagi akan turun hujan.

Sahara berjalan gontai di trotoar, tak berniat menyusul Lintang yang melangkahkan kaki lebar-lebar hingga membuat Sahara tertinggal di belakang.

Pemuda itu, selalu saja menjengkelkan.

Sahara tak ingat pasti kapan pertama kali mereka bertemu. Yang jelas, Lintang sempat menjadi murid populer di sekolah tetangga. Pemuda itu sering menjadi pusat perhatian karena pembuat onar, namun memiliki paras menawan dan otak pintar, katanya.

Mereka tidak saling mengenal hingga hari itu, hari pertemuannya di pemakaman umum sekitar dua tahun yang lalu, ternyata membuat keduanya menjadi lebih sering bertemu. Apa lagi kini mereka dipertemukan kembali dalam ruang lingkup yang sama. Di sebuah kafe tempatnya bekerja-- yang secara mengejutkan dikelola oleh Lintang sendiri.

Biasanya, ketimbang harus keluyuran keluar rumah, Sahara lebih memilih rebahan setelah sekolah bubar. Namun, hari ini ia mendadak menerima ajakan Binar untuk hangout di sebuah kafe.

Sahara yang tengah menanti pesanannya datang, lantas dibuat tersentak kala melihat Lintang yang datang mengantarkan. Senyum sumringah pun terukir begitu saja dari bibirnya.

"Eh, cewek pemakaman?" sapanya sembari tersenyum cerah menatap Sahara.

Senyum di wajah Sahara sirna seketika, tergantikan oleh bibir merengut dan mata yang mendelik tidak terima saat disebut 'cewek pemakaman'.

"Nggak ada julukan yang lebih bagus?" Sahara menahan diri agar tidak mendengkus.

Lintang meringis sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ya, apa dong? Saya kan, nggak tahu nama kamu."

Sahara mendengkus geli. "Sahara. Nama saya Sahara," ucapnya memperkenalkan diri.

Lintang tersenyum lebar, ia menjawab, "Sahara doang?"

Sahara terkekeh samar. "Arunika Sahara."

Sesaat ada binar kekaguman dari mata Lintang. Ia mencondongkan tubuhnya, bibirnya berbisik di dekat telinga Sahara hingga gadis itu memundurkan tubuhnya. "Nama kamu bagus, saya suka."

Sahara mengulumkan senyum, bulu kuduknya meremang karena bisikan Lintang. Seketika ada rona merah menjalar di wajahnya, yang mana terlihat kontras karena kulit putihnya. "Saya anggap itu pujian."

Lintang memundurkan tubuhnya seraya tergelak. "Saya emang muji kok. Kamu nggak penasaran nama saya siapa?"

Bahkan tanpa diberi tahu, Sahara sudah mengetahuinya sejak dulu. "... siapa?" Namun ia memilih pura-pura tidak tahu.

"Lintang. Nama saya Lintang," ucapnya ikut memperkenalkan diri, mengulurkan tangannya, dan saling berjabat tangan.

"Lintang doang?" Sahara meniru gaya bicara Lintang sembari tersenyum simpul.

Lagi, Lintang tergelak. "Semesta Lintang Baskara."

Sesederhana itu perkenalan mereka.

Di pertemuan pertama, Sahara sempat mengira bahwa Lintang merupakan laki-laki sempurna dengan sejuta pesona. Nyatanya, Lintang memiliki sejuta kekurangan dan sejuta sifat menyebalkan yang kian lama kian terbuka seiring kebersamaan mereka berdua.

Lihat saja sekarang, pemuda itu bahkan terlihat tak mempedulikan Sahara yang tertinggal jauh di belakang. Lintang santai saja berjalan sendirian tanpa peduli Sahara bisa saja jatuh terjungkal atau tercemplung comberan.

Kalaupun itu sampai terjadi, niscaya Lintang akan tertawa puas lebih dulu alih-alih menolongnya.

Barulah saat sampai di depan rumah Sahara, Lintang menoleh ke belakang dan dibuat berdecak saat tahu gadis itu berjalan dengan ogah-ogahan. Bagai kerakap di atas batu, hidup enggan mati tak mau.

"Lelet banget!" Lintang berdecak.

"Lo-nya yang kecepetan!"

"Kode minta digendong? Tapi kita udah sampe. Gimana dong?"

"Dih, sotoy! Lagian tumben banget bos muda milih jalan kaki dari pada numpak mobil."

Lintang tersenyum geli. "Kan, biar bisa sama lo lebih lama, Ra."

"Oh." Sahara menggedikkan bahu tidak peduli, tampak tidak terkesan sama sekali.

"Hadeh."

"Apa?"

"Nggak. Seharusnya kalo lo capek, bilang aja."

"Ya terus kalo gue bilang, emang capeknya bakalan hilang?!" ketus Sahara.

"Nggak sih, tapi lo kan bisa guling-guling aja sampe rumah." Lintang tersenyum lebar, "Hemat tenaga, kan?"

Sahara selalu bertanya-tanya, bagaimana bisa cowok itu tetap terlihat baik-baik saja saat pundaknya menanggung banyak beban setelah merasakan kehilangan?

Atau karena saking merasa kehilangannya, otak Lintang jadi ikut kehilangan akal?

Sahara mendelik sebal. “Udah mau hujan. Sono lo pulang!”

"Dih, ngusir." Lintang merengut.

"Emang."

“Tapi kan--" ucapan Lintang terpotong oleh suara gebrakan pintu yang Sahara tutup.

Lintang terkekeh kecil, tidak merasa tersinggung sama sekali. Tatkala Lintang hendak berbalik badan hendak pulang, kepala Sahara kembali menyembul dari balik pintu, membuat cowok itu menatapnya dengan senyum tertahan.

"Kenapa? Mau nyuruh gue mampir dulu, ya?"

Sahara menggeleng. "Cuma mau bilang... makasih udah dianterin," ucap Sahara setengah hati. Lalu pintu itu kembali tertutup sebelum Lintang sempat menanggapi.

-To be continued-

Perfect Things (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang