Entah

1.7K 156 65
                                    

"Pak Edo, saya sudah survei kesana dan saya suka sama rumahnya. Untuk harga sesuai kesepakatan kemarin ya Pak? Kira-kira kapan kita bisa lakukan transaksi sekaligus mengurus berkas-berkasnya Pak?" Nesya duduk di ruang tamu rumahnya.

"Syukurlah kalau Mbak Nesya suka sama rumahnya. Kemungkinan minggu depan saya sudah pulang Mbak, bisa kita urus setelahnya. Nanti saya kabari Mbak Nesya lagi soal pembayaran dan yang lainnya."

"Baik Pak, Kalau begitu saya tunggu kabar selanjutnya. Terimakasih Pak Edo, salam untuk istri bapak." Nesya meletakkan ponsel di atas meja depannya.

***

Hari ini Nesya resmi menempati rumah yang dibelinya dari Pak Edo, setelah proses peralihan hak milik selesai dilakukan. Seluruh barang miliknya baru diturunkan dari truk.

"Pak, tolong barang yang itu letakkan diruang sebelah sana ya." Nesya menunjuk ruang yang akan dia gunakan sebagai ruang kerja.

"Baik, Mbak."

"Mbak Sya? Beneran berani disini sendiri?" Hendri mengamati sekelilingnya.

"Emang kenapa? Bilang aja kamu mau numpang disini biar ngirit daripada bayar kos kan?" Dia mengangkat sebelah alisnya menjawab pertanyaan Hendri.

"Hehehehe... Kok Mbak Sya bisa tahu sih? Kan lumayan Mbak. Apalagi juga deket sama kampus." Cengiran Hendra mulai nampak menyebalkan bagi Nesya.

Mendengus pelan, Nesya kembali memberi instruksi pada pekerja yang membantu kepindahannya. Dengan gesit dia mengatur tata letak barang-barangnya sesuai yang dia inginkan, hingga tak menyadari kedatangan Nendra pagi itu. Pria itu mengamati segala gerak gerik Nesya melalui mulut pintu, tanpa sadar dia tersenyum melihat teman semasa SMAnya masih seperti dulu dia kenal, Nesya masih menjadi seorang gadis yang mandiri.

"Ada yang perlu aku bantu nggak?" Nendra memutuskan berjalan menghampiri Nesya.

"Eh? Ndra. Sejak kapan kamu disini? Kok aku nggak liat kamu masuk ya, padahal sedari tadi aku mondar-mandir lewat pintu." Nesya sedikit kaget dengan kedatangan Nendra yang menawarkan bantuan.

"Sejak tadi, kamu terlalu fokus sampai nggak lihat aku disini. Padahal tadi sempet ngobrol sam Hendri sebentar." Nendra mengendikkan dagunya ke arah Hendri kemudian melihat kembali pada Nesya.

"Oh, maaf kalau gitu. Biar cepet selesai soalnya, biar cepet istirahat juga. Udah, kamu duduk aja, cari tempat duduk sendiri ya. Ini aja dari tadi ada yang katanya mau bantuin pindahan tapi berasa sendiri. Kalau tahu gitu aku berangkat sendiri aja kesini." Nesya menyindir dan melirik pada Hendri yang malah asik dengan game di ponselnya, Namun yang disindir hanya membalas dengan cengiran.

"Kan capek Mbak. Apalagi dari rumah lumayan jauh loh jaraknnya ke sini. Mbak dari rumah kepagian, aku kan belum sarapan. Mana bisa aku angkat-angkat barang Mbak, Nggak ada tenaga." Hendri menjawab dengan cengengesan.

"Halah, alasan. Itu tadi bubur ayam dua mangkok yang beli pas mau kesini, apa namanya? Ngemil?" Nesya mencibir alasan Hendri. Hal seperti ini sering terjadi antara mereka karena sama-sama anak tunggal.

"Udah-udah, kalau berdebat gini yang ada malah nggak cepet selesai. Sini aku aja yang bantu, itung-itung perkenalan tetangga baru." Nendra menengahi setela sebelumnya hanya menjadi penonton dari perdeb"atan dua orang didepannya ini.

"Eh? Nggak usah Ndra, aku..." belum sampai omongannya selesai, seorang pekerja datang menghampiri Nesya.

"Bu Nesya, barang-barang yang ini mau ditaruh sebelah mana ya?" Salah satu pekerja menunjukkan beberapa kardus dan sebuah almari hias.

"Oh,iya Pak. Yang itu tolong diletakkan disudut sebelah sana ya Pak. Dan kardus-kardusnya, letakkan saja juga disana. Nanti saya yang beresin." Nesya kembali menoleh pada Nendra saat pekerja tersebut sudah melakukan apa yang tadi Nesya katakan.

Nendra tampak mengamati barang-barang yang dibawa Nesya. Lumayan banyak, padahal Nesya hanya akan tinggal sendiri disini.

"Banyak juga bawaan kamu, Nes. Niat banget pindahannya, emang yakin betah disini?" Nendra melihat pada Nesya kemudian menggodanya dengan pertanyaan seperti itu.

"Ya niatlah, Ndra. Kalau nggak niat, ngapain juga aku mesti beli rumah ini. Cuma males aja kalau mesti bolak-balik beli ini-itu. Jadi, ya sekalian. Lagian ini juga mama yang suruh bawa daripada menuh-menuhin rumah katanya. Paling juga mama biar ada alasan ke papa buat beli perabotan baru." Nesya terkekeh mengingat bagaimana cara mamanya membujuk agar mau membawa beberapa barang yang ada dirumah.

"Iya juga ya. Semoga kamu betah tinggal disini. Kalau ada apa-apa kamu jangan sungkan minta bantuan sama aku. Udah tau kan rumah aku yang mana?" Nendra memastikan suatu hal.

"Rumah kamu? Belum." Nesya terkekeh menjawab pertanyaan Nendra. Dia baru dua kali ke rumah ini, dan beberapa kali bertemu Nendra itupun bertemu diluar lingkungan tempat tinggalnya.

"Astaga! Keterlaluan banget berarti aku ya, nggak pernah nawarin kamu buat mampir. Nanti kalau sudah selesai, kita ke rumahku. Bunda kebetulan masak banyak hari ini." Nendra semangat mengundang Nesya.

"Eh? Nggak usah Ndra. Cukup kasih tahu sebelah mana aja. Kalau makan siang kesana sekarang, malah takutnya ngrepotin. Nggak enak sama Bunda kamu, apalagi bawa tuh, si perut karung." Nesya menunjuk Hendri dengan lirikannya.

"Dih, Parah kamu Mbak, masak ganteng-ganteng gini dibilang perut karung. Aku kan masih masa pertumbuhan, jadi butuh makan banyak dan bergizi." Hendri menjawab tanpa mengalihkan perhatiannya dari ponsel.

"Terserah."

Mereka melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda, agar bisa segera selesai dan beristirahat.





...

Cinta Tanpa Syarat (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang