Prolog

27.9K 3.1K 938
                                    

Langkah-langkah itu tercipta dengan tergesa. Kelamnya langit telah terabaikan. Ada yang lebih penting di-depan sana. Seorang anak kecil usia sekitar lima tahun tengah berlari dari kejaran tiga pasang kaki yang memburunya.

“Sial, dia benar-benar anak kecil? Kenapa dia berlari sangat kencang?” Doyoung mulai berkeluh kesah seperti biasanya.

Anak kecil itu berhenti sekitar tiga meter dari mereka. Ditangannya terdapat boneka beruang yang sudah berwarna merah--meski itu bukan warna aslinya.

Ketiga makhluk yang tadi mengejar pun menghentikan langkah mereka. Menjaga jarak dari si-kecil sebagai antisipasi ia akan lari lagi jika mereka mendekat terlalu gegabah.

“Anak kecil, jangan membuatku susah. Ayo cepat kemari,” pinta Jihoon sambil melambai-lambai.

Yoshi berdecak. “Lakukan dengan lebih lembut.”

Ia lantas tersenyum pada bocah itu dan mengeluarkan cokelat batang dari dalam saku celananya. Jihoon dan Doyoung hanya menghela napas pasrah. Soal anak kecil, biar Yoshi saja yang urus. Dia lebih becus. Jihoon dan Doyoung tak bisa selembut Yoshi. Mereka tidak mampu se-sabar itu.

“Kau mau ini?” Tanya Yoshi dengan nada super lembut dan dengan sentuhan imut.

Tatapan anak kecil itu terlihat agak luluh. Apalagi melihat cokelat batang dengan bungkus warna-warni di tangan Yoshi. “Aku masih boleh makan cokelat?”

“Tentu.”

Yoshi tersenyum lagi dan kemudian mendekat. Jihoon mendecak tak menyangka karena anak tersebut tak bergeser se-senti pun, alih-alih menatap Yoshi dengan polos. Padahal tadi susahnya bukan main ketika mereka kejar.

Yoshi menyodorkan coklat-coklat itu. Bocah lelaki itu tersenyum tipis. Ia mengapit bonekanya dan menerima coklat-coklat dari Yoshi. Membuka bungkusnya perlahan dan melahapnya dengan penuh semangat khas anak kecil. Yoshi yang gemas pun mengusap puncak kepala anak itu dengan lembut.

“Aku tidak pernah makan coklat se-enak ini,” ujar bocah itu.

Jihoon dan Doyoung ikut mendekat. Jihoon berjongkok menyamakan tingginya dengan bocah itu.

“Sekarang sudah mau pergi?” Tanya-nta.

Bocah laki-laki itu terlihat memandang ketiga orang di-hadapannya ini secara bergantian. Masih ada keraguan di-wajah itu.

“Disana, banyak coklat seperti ini dan makanan enak lainnya. Kau bisa menikmatinya sampai puas,” imbuh Doyoung kemudian ikut berjongkok. Menatap manik bening dan surai-surai yang tak lagi tertimpa cahaya rembulan.

“Sudah mau pergi?” Tanya Jihoon sekali lagi.

Dengan gerakan pelan, bocah itu mengangguk.

Yoshi tersenyum dan menghela napas lega. Ia mulai membuka buku hitam yang tiba-tiba muncul ditangannya.




“Lee Jooan, usia lima tahun empat bulan. Meninggal karena kecelakaan, pada 23 Maret tahun 2020, pukul enam sore.”





Usai kalimat itu terucap, bocah bernama asli Jooan itu menghilang bersama coklat pemberian Yoshi serta boneka beruang di tangannya. Dan buku yang di pegang Yoshi tadipun ikut lenyap tak bersisa.

Jihoon dan Doyoung kembali berdiri tegak.

“Selesai juga malam ini,” Doyoung melakukan sedikit perenggangan.

Sementara Jihoon menatap sekitarnya. Pintu perumahan sudah ditutup rapat oleh para pemiliknya. Wajar, ini nyaris pukul dua belas malam. Hanya karena mengejar arwah anak kecil yang nakal, mereka melewatkan waktu istirahat.

birthdeath [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang