Chap 17| Pagi dan Pengakuan Sayangnya

10K 945 467
                                    

Chap 17| Pagi dan Pengakuan Sayangnya

“Menangislah untuk hal yang memang pantas ditangisi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Menangislah untuk hal yang memang pantas ditangisi. Jangan buang-buang air mata!” —Samahita

Jakarta di jam tujuh pagi adalah ramai yang sebenarnya. Kendaraan berdempet menunggu giliran untuk bernapas bebas dari sesaknya kemacetan.

“Pak—”

“Berhenti memanggil saya begitu,” potong Samahita tanpa beralih wajah dari padatnya tumpukan kendaraan roda empat dan dua di depan mobilnya. Mereka tidak bergerak sama sekali membuat Samahita mengumpat dalam hati.

“Terus apa? Kak Sama? Muda banget, sadar umurlah, kan situ 30,” jawab Zivana tanpa dosa.

Dia sibuk menilik wajah anak kecil berseragam putih merah yang duduk di atas motor sambil menjilat jari-jemari yang agaknya habis menggenggam sesuatu yang manis.

Samahita mendengus tak kentara. Apa gadis itu lupa kalau setahun yang lalu dia memanggil Samahita dengan panggilan kakak? Ah tentu saja dia lupa. Kejadian itu juga tidak berkesan. Tapi, kenapa Samahita ingat?

“Apapun, asal jangan bapak,” sahut Samahita akhirnya.

Samahita merasa sangat tua jika Zivana memanggilnya begitu. Iya, dia sadar sudah kepala tiga. Tapi kan wajahnya masih bisa dikategorikan anak baru gede. Ah pokoknya dia tidak suka panggilan itu. Dia merasa jadi bapak dari istrinya. Kan aneh.

“Sayang ...”

“Turun kamu!” suruh Samahita dengan wajah dinginnya.

“Jangan dong, aku hari ini mau ospek. Nanti dimarahin senior kalau telatnya kelewatan. Aku juga cuma bercanda. Lagian geli manggil sayang. Daripada suami istri, hubungan kita tuh kayak anak dan ayah. Hahaha ....”

Samahita mencengkram erat stir mobilnya. Kesal soalnya. Perkataan gadis itu menegaskan kalau perbedaan umur mereka memang jauh—agak pantas dibilang ayah dan anak. Coba tolong semesta jelaskan, kenapa pagi-pagi begini Samahita sudah dilanda jengkel setengah hidup?

Yah karena Zivana. Memangnya siapa lagi?

“Mas aja deh, yah Mas Sama. Ah nggaklah, Mas Ama aja. Imut. Masa iya aku panggil Mas Ita, terlalu maskulin. Hmm, aku tebak cuma aku aja yang panggil Bapak, Mas Ama,” podato Zivana.

Bersamaan dengan itu, kondisi macet di depan Samahita sedikit terurai, mobilnya bisa bernapas dan melaju mempertipis jarak ke arah Neo University.

“Kamu orang kedua setelah Akash yang panggil saya begitu,” balas Samahita dalam hati. Tidak pecah di ujung lidah karena dia malas bersuara. Lebih baik fokus mengendarai daripada mati konyol di pagi yang belum apa-apa sudah terasa sangat melelahkan.

Samahita dengan seberunjung duka.

Zivana dengan setumpuk luka.

Memangnya karena apa Zivana jadi banyak omong begini? Yah karena ada tangis dan pedih yang dia redam semahir mungkin lewat kicauan dan senyum lebarnya.

Tentang Kita; Yuanfen (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang