⚠️15+ Area! Bullying - mental disorders - harsh words - blood - some crimes are here - please be smart !
____________
Tentang Zivana dan Samahita-si pencinta teh dan si mantan mafia yang doyan nyimpen susu cokelat dalam botol amer-dua orang dengan p...
Semoga selalu dalam keadaan baik-baik saja. Jika tidak, jangan bersedih. Jika ingin menyerah maka katakan pada diri kalian bahwa untuk apa menyerah terlalu cepat, buktinya kalian bisa melewati hari-hari kemarin dengan begitu hebat.
Okeh, kali ini aku nggak nuntut kalian untuk kasih vote dan komen pada karyaku yang keren ini (hehe, aku harus berbangga diri sedikit karena akhir-akhir ini badai yang meriuh di kepalaku membuat aku jadi pengin nyerah nulis sebab seberunjung ketakutan dan rasa tidak percaya diriku menanjak. Sumpah ini nyiksa.
Aku memang gemar memberi semangat tapi lupa menyemangati diri sendiri. Miris.
Aku pernah menyemangati orang yang mungkin sekarang sudah lebih maju dariku, sementara aku justru masih memupuk agar bisa tumbuh sesuai harapan. Agaknya pertumbuhanku melambat dan barangkali itu yang membuat aku bertengkar terus dengan isi kepala sehingga menyerah kadang jadi solusi jeleknya.
Buat kalian yang baca salam pembuka chapter 16 sampai ke sini, aku ucapkan terima kasih karena mau melihat bertumpuk tulisan berisi curahan hatiku.
~ Selamat membaca ~
Chap 16| Membalut Luka; Kehilangan
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Dan kepada tempat bernama kehilangan; takkan pernah ada kata terbiasa yang bisa dihidangkan untuk merayakannya selain mengikhlaskan dengan hati yang tak setabah karang dihantam ombak." Tentang Kita; Yuanfen
Tiga bulan berlalu ...
Selepas Rafael, Cahyono, dan William meninggalkan meja makan. Hanya tersisa Zivana seorang. Samahita sedang berada di dalam kamar. Lelaki itu lebih banyak mengurung diri semenjak kematian Raja. Bicaranya semakin irit, bahkan dalam sebulan bisa dihitung menggunakan jari berapa kali Zivana berbicara pada Samahita.
Kehidupan tetap berjalan seperti biasa, Samahita kerja, Rafael dan Cahyono kuliah, William sibuk mendaftar masuk universitas sama sepertinya. Tapi, luka akan kehilangan itu jelas masih basah dan meradang, belum pulih.
Di luar mereka bertingkah seolah kehilangan yang datangnya seabrek-abrek itu tetap membuat dunia mereka baik-baik saja. Mereka masih bisa meriakkan tawa seberisik sungai dangkal, padahal setelah masuk kamar mereka kerap meringkuk sambil mengais rindu pilu sedalam palung Mariana—mengutuk semesta yang bercandanya nggak pakai otak.
Apalagi Rafael—yang hatinya pecah menjadi kepingan berjumlah tidak terhingga setelah kematian Raja. Sebab pada kenyataan, yang lebih kehilangan Raja itu bukan Zivana, tapi Rafael Bumantara Abinawa—lelaki periang gemar melawak yang jarang menampakkan gundah dan sedinya. Raja itu ibarat jantung dalam tubuhnya, bagaimana jika manusia hidup tanpa jantung, mati.
Iya, sekarang Rafael mati
—tanpa kehilangan denyut nadi.
Lalu Zivana? Dia tidak tahu kapan luka itu akan mengering. Selain tahu bahwa rasa rindu yang kerap menjamur tidak lagi memiliki penawarnya. Sebab kepada siapa rindu itu akan dipulangkan sementara rumahnya sudah roboh bahkan puingnya saja tak berjejak. Benar, bahwa merindukan orang yang sudah tidak ada itu jauh lebih menyakitkan.