⚠️15+ Area! Bullying - mental disorders - harsh words - blood - some crimes are here - please be smart !
____________
Tentang Zivana dan Samahita-si pencinta teh dan si mantan mafia yang doyan nyimpen susu cokelat dalam botol amer-dua orang dengan p...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Berada di dalam bathup dengan air hangat beserta cairan aroma terapi, nyatanya tidak membuat sebentuk sakit hati itu reda. Alih-alih tenang, air hangat itu justru memekatkan amarahnya. Segera Samahita menarik handuk dan mengeringkan badannya.
Setelah menyematkan kaos putih oblong dan boxer bewarna hitam ke tubuh atletisnya, Samahita berjalan ke arah nakas, menatap nanar figura berisi pose dia dan Naraya Basagita di bawah pohon tabebuya. Semua kenang yang terkumpul dalam satu wadah selama lima tahun langsung berserakan. Hari ini tak ada lagi kesanggupan untuknya memungut kenang yang sebelumnya selalu dia rapikan dan kembalikan ke tempatnya.
Prank ...
Samahita melempar figura yang dipegangnya sampai benda itu terbentur keras di dinding dan pecahan kacanya memenuhi lantai. Sesak yang bergelut di dadanya tidak mau beringsut barang sebentar saja. Dia terduduk menyandar di kaki ranjang, menenggak wine bergelas-gelas dengan wajah merah menahan tangis. Coba sebutkan, siapa yang baik-baik saja ketika pengkhianatan berdiri gagah dalam hubungan yang dijaga mati-matian untuk tetap bertahan?
Kalau ada, maka cintanya perlu dipertanyakan.
Mempertahankan hubungan selama itu di tengah semua pekerjaan, masalah hidup, dan traumanya tentulah bukan perkara mudah. Bersama Ara, dia hampir berdamai dengan lukanya sebab gadis itu selalu memberi dukungan untuk Samahita keluar dari bayang-bayang masa lalu. Tapi malam ini, kata-kata yang keluar dari mulut Ara ketika berbincang dengan Bennedict telah melukainya begitu parah. Membuat lubang yang terbentuk di hatinya—luka lama—kian menganga lebar.
“Brengsek!” makinya ditujukan pada Bennedict yang mungkin lagi bersenang-senang bersama Ara saat ini.
Menenggak terlalu banyak miras membuat tenggorokan Samahita dialiri rasa panas. Kepalanya pun mulai pening. Mata berhias manik obsidian miliknya perlahan tertutup rapat. Dalam pandangan yang kian menggelap. Seberkas cahaya melaju, membawanya pergi ke sebuah tempat yang minim cahaya. Bunyi las karbit menukik ke telinga. Tawa-tawa samar turut hadir, menggema di sepanjang lorong gelap—tempat itu semacam markas yang lebih mirip bengkel besar terbengkalai.
“Kau yakin ingin terjun ke dunia ini? Seperti yang kau tahu, bahwa ketika kau memilih untuk masuk ke sini maka kau harus rela kehilangan dirimu sendiri.”
“Aku tidak peduli.”
“Dunia ini, perkumpulan ini, akan membangunkan monster yang ada di tubuhmu.”
“Persetan! Aku sama sekali tidak peduli. Cepat tunjukan padaku bagaimana caranya aku bisa membunuh tanpa keraguan?”
Lawan bicara menggerakkan tangannya, memberi kode untuk dia segera mendekat.
“Jadilah manusia yang tidak berperasaan,” bisik lawan bicara nyaris membuat rambut di tengkuknya meremang.
Potongan-potongan kisah berkelebatan memenuhi ruangan gelap tempatnya berpijak. Kolase-kolase adegan mengerikan terus terputar seperti kaset rusak. Dia mencengkram kepalanya kuat-kuat, ingin segera keluar dari ruang gelap yang dihujani peristiwa berdarah-darah. Lalu potongan kisah itu bergulir ke sebuah tempat yang dilumuri bau besi berkarat dan air asin—kontainer di sudut pelabuhan yang usang.