1. Walking Alone

3K 172 32
                                    


Prolog

Tiga bulan yang lalu

Sejujurnya, gue nggak pernah berencana akan menjadikan area belakang gudang olahraga sebagai lokasi favorit.

Nggak banyak yang mendatangi tempat ini selain penjaga sekolah yang cukup berani hanya untuk melakukan agenda bebersih rutin tiap satu minggu. Itu pun cuma sebentar, karena dari gedung yang nyaris terbengkalai ini, nggak banyak bagian yang perlu ditangani selain tumpukan debu.

Mudah berasumsi gudang olahraga angker, kalau melihat lokasi dan kondisinya. Dan memang, kebanyakan cerita horor yang beredar nggak jarang menyebut tempat itu. Tapi sumpah, gue nggak punya waktu dan energi yang cukup buat khawatir soal hantu. Kalaupun gudang olahraga memang seram, gue yakin orang-orang masih jauh lebih seram.

Karena itu, di jam istirahat, gue selalu menghindari kantin dan memilih mendatangi gudang olahraga. Kantin terlalu ramai dan semakin banyak orang, semakin banyak pula tatapan buruk.

Rute menuju gudang olahraga hanya satu, dan bagian terbaiknya, nggak banyak cctv yang menjangkau gudang olahraga sehingga gue nggak perlu ketahuan atau repot meladani seandainya ada pertanyaan soal alasan mendatangi tempat yang paling nggak terekspos itu.

Begitu sampai, di luar dugaan, ada seseorang yang duduk sendirian di sana. Terselip sebatang rokok yang masih menyala di jarinya sementara si pemilik menunduk. Gue menelan ludah, berharap ini bukan hari yang sial karena ketemu cowok di tempat yang sepi biasanya nggak akan berakhir bagus.

Cowok itu menegakkan kepala begitu menyadari keberadaan gue. Ekspresinya berubah dalam sesaat dan langsung panik. Nggak, harusnya ini bukan mengejutkan seandainya bukan Jasper yang berada di sana, lebih mengejutkan lagi, karena gue bisa lihat dengan jelas matanya sembab dan merah. Gue tahu Jasper dikenal di mana-mana bahkan oleh mereka yang punya banyak catatan hitam di ruang BK, tapi dia nggak terlihat cukup nakal untuk merokok diam-diam di sekolah.

"Eh, loh?" cowok itu masih gelagapan dan langsung ngumpetin rokoknya ke belakang dan mengusap dengan kasar kedua matanya. "Temennya Jun—maksud gue, Riani?"

Gue terlalu kaget untuk menjawab, melihat reaksi gue, Jasper makin kebingungan dan menoleh kanan-kiri, bergumam, hingga kemudian mengeluarkan lagi sebatang rokok yang tadinya dia simpan dengan ragu-ragu.

"Anu—mau rokok?"

"Lo..... ngapain?"

Jasper diam sesaat, menurunkan tangan yang tadi sempat dia naikin buat menawarkan rokok. Dia lebih tenang kali ini, sempat menatap gue sekian detik sebelum berdiri dan mendekat. Dari jarak ini, gue bisa lihat dengan jelas. Gue yakin dia bener-bener habis nangis.

Tapi... kenapa?

"Nah, that's my question, lo ngapain di sini?"

"You already know the answer."

"Gue nggak bakal tanya kalau tau."

Gue menggigit bibir, kemudian menghela nafas. Jasper masih bertahan dengan wajah penuh tanda tanya ketika gue memutuskan untuk berbalik, berniat melangkah pergi dari sana.

"Eh, eh Riani! Mau ke mana?!"

Bukan seruan barusan yang bikin gue berhenti, melainkan pergelangan tangan gue yang tiba-tiba ditahan. Gue menoleh, nggak bisa menahan diri untuk nggak melempar delikan ke arahnya.

"Lo belum jawab pertanyaan gue," ucapnya. "Harus ada alasan kuat kenapa lo datangin tempat beginian di antara sekian banyak lokasi yang lebih bagus di sekolah."

May The Flowers BloomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang