Bab 12. Sepatu Air Jordan dan Latar Rooftop

81.1K 8.7K 966
                                    


Are you ready?

Okay.

Gue mau kasih challenge komentar capslock!!

Edisi ngegas nih wkwk!

SELAMAT MEMBACA!!

----------------------------------------------------------

Bab 12. Sepatu Air Jordan dan Latar Rooftop

Tahu nggak, benci dan cinta itu jaraknya setipis apa?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tahu nggak, benci dan cinta itu jaraknya setipis apa?

Setipis jarak antara fajar dan pagi juga setipis jeda antara senja dan petang.

***

"KALAU gue lanjut kuliah S2 di luar negeri gimana menurut lo?"

Pertanyaan itu terlontar dengan begitu lancar dari mulut Mirabeth. Lyodra hampir tersedak susu yang diminumnya, untung saja ia pandai menetralkan emosi. Jadi semuanya terkendali dan minumannya mengalir sempurna di tenggorokan.

Ia menaikkan pandangan, menatap ke arah Mirabeth yang sejak tadi fokus pada ponselnya sambil makan. Gadis yang baru kemarin yusidium dan dinyatakan lulus dengan nilai cumlaude itu nampak sangat serius sekarang.

"Emang mau kuliah dimana?"

"Austria."

Lyodra membelalakkan matanya, ia jelas kaget. "Kak Abe nggak pernah cerita soal ini. Setahu aku, kak Abe dulu pengennya kuliah di NAFA, di Singapura. Kenapa sekarang malah pengen hijrah ke Eropa Tengah?"

Oke. Pembicaraan mereka sudah mulai serius. Mirabeth meletakkan ponselnya lalu menatap penuh ke arah Lyodra. Adiknya itu sudah nampak rapi dengan seragam almamater sekolah, rambut lurusnya dibiarkan terurai dengan headband di kepala. Lyodra telah tumbuh dewasa ternyata. Padahal, seperti baru kemarin ia mengajari adiknya itu bersepeda mengelilingi komplek. Ah, terlalu sibuk dengan dunianya sendiri membuatnya kehilangan moment-moment tumbuh kembang adiknya ternyata.

"Gue berencana mau lanjut study di University of Music and Performing Arts Vienna. Lo tahu kan kalau dari dulu gue menghindari banget dunia perkantoran dan politik karena gue pengen jadi seniman. Makanya, karena papa dan mama sempat nggak dukung, gue milih biayain kuliah sendiri sampai lulus. Duit dari mereka gue tabung, nggak gue ambil sepeserpun buat jaga-jaga kalau mereka ungkit-ungkit nantinya," papar Mirabeth. Gadis itu meneguk air putihnya hingga setengah sebelum melanjutkan pembicaraan. "Kemarin-kemarin, dekan gue ngasih tahu soal pendaftaran di MDW. Dan gue langsung tertarik waktu dia jelasin tentang sistem kuliah disana," lanjutnya.

RetrouvaillesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang