⚠️15+ Area! Bullying - mental disorders - harsh words - blood - some crimes are here - please be smart !
____________
Tentang Zivana dan Samahita-si pencinta teh dan si mantan mafia yang doyan nyimpen susu cokelat dalam botol amer-dua orang dengan p...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tujuan terakhir di Senin sore menuju petang—penutup acara bolos berkedok menikmati hidup—Pelabuhan Sunda Kelapa. Setelah puas mengukur hampir semua sudut Jakarta Barat, sekarang mereka menyisir Jakarta Utara—ke tempat yang dulu juga sering mereka bertiga kunjungi—Zivana, Raja, dan Pangeran.
Angin yang berhembus dari perairan Sunda Kelapa menyambut langkah keduanya. Menjalarkan rasa tenang yang spontan meluruhkan semua penat di benak.
Kapal-kapal pinisi berbaris dengan rapi di muara timur sungai Ciliwung di sekitar jalan Maritim Raya—menjadi panorama apik yang memanjakan mata Zivana dan Raja sore ini.
Setelah sekian lama lupa bagaimana rasanya bahagia, sekarang Zivana merasakan perasaan itu kembali—hanya dengan menikmati kapal-kapal dengan moncong panjang dilapisi cat warna-warni—sangat klasik dan luar biasa serta memberikan kesan yang nyata bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah seorang pelaut.
“Tadinya gue mau contact temen papa yang punya kapal pinisi di sini. Biar kita bisa naik dan nikmati sunset dari sana. Tapi, gue lupa kalo liburan kita hari ini adalah bentuk dari bolos sekolah. Hahaha, jadi kita naik ke peti kemas di sana aja.”
Raja membawa tangan Zivana dalam genggamannya. Mengajak gadis itu untuk naik ke atas peti kemas warna-warni yang justru terlihat sangat indah—masih berada di kawasan pelabuhan.
Di atas tumpukan kotak-kotak besar berbahan baja itu, mereka duduk meluruskan kaki. Melempar pandang ke arah perairan Sunda Kelapa yang begitu menakjubkan di pandang dari sini. Bangunan tinggi apartemen Pluit juga bisa mereka nikmati—luar biasa indahnya karya Tuhan.
Matahari telah hampir masuk ke peraduannya, perlahan-lahan menurutkan perintah dari alam gaib, berangsur turun ke dasar perairan Sunda Kelapa yang tidak kelihatan ranah tanah tepinya. Cahaya kemerahan telah mulai terbentang di ufuk barat, dan bayangannya nampak mengindahkan wajah pelabuhan Sunda Kelapa yang tenang.
Sunda Kelapa, peti kemas, pinisi, swastamita, dan Zivana menjadi kombinasi paling epik yang pernah Raja temui di dunia. Dia menolehkan wajah ke kiri hanya untuk menatap Zivana yang tengah terpejam—menikmati sepoy angin yang membelai permukaan wajahnya.
Cantik sekali, batin Raja. Apalagi ketika sisa-sisa sinar mentari menimpa kulit putih Zivana. Turut mengeja bulu mata lentik dan bibir ranumnya juga. Ya Tuhan, indahnya bahkan mengalahkan panorama yang ditawarkan Sunda Kelapa sore ini.
“Gimana, bahagia nggak?” Raja bertanya sembari menguntal senyum hangat.
Zivana mengangguk sangsi. Dia terlalu gengsi untuk mengucapkan bahwa hari ini dia benar-benar bahagia. Apalagi setelah mendapat pertanyaan itu dari Raja. “Apa dia bahagia?” Demi Tuhan, pertanyan sederhana itu justru adalah yang paling membahagiakan dari rentetan perjalanan mereka hari ini termasuk panorama indah yang ditawarkan Sunda Kelapa.