Bab 15 (Titik Terang)

13 2 0
                                    

Jangan memaksakan sesuatu saat kamu mencintai seseorang. Jangan sampai rasa cintamu itu berubah menjadi obsesi yang berlebihan. Yakinlah, bukan cinta yang akan kamu dapatkan. Melainkan hanya satu hal: kebencian.

-Darial-

***

Darial kembali masuk ke kamar Dewi, pemuda itu berjalan pelan menuju nakas. Dia mengambil tiga butir obat yang selama ini rutin diminum oleh Dewi, menaruhnya di sebuah plastik kecil. Darial tersenyum melihat wajah tenang Dewi saat tertidur. Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00 WIB. Sejam lagi jadwal pertemuan Darial dengan dokter yang menangi Dewi dulu.

Entah mendapat keberanian dari mana, Darial berjalan ke samping ranjang Dewi. Pemuda itu membungkuk, lantas mencium kening Dewi sekilas. Gadis itu terlihat menggeliat kecil, membuat Darial mengulum senyum.

"Aku mencintai kamu, Dew. Semoga aku bisa mengungkap semuanya segera."

Setelah mengatakan kalimat tersebut, Darial keluar dari kamar. Lorong penginapan terlihat cukup sepi dari biasanya, mungkin semua orang sedang keluar untuk berkencan. Kebetulan, hari ini malam Minggu. Jadi wajar saja, kan?

Darial masuk ke dalam mobil yang dia rental beberapa hari yang lalu. Melajukannya pelan membelah jalanan Jogja yang cukup lengang. Tak sepadat jalan Jakarta. Yang terkenal dengan kemacetannya.

Tiga puluh menit kemudian, Darial sudah sampai di parkiran rumah sakit. Pemuda itu segera turun dari mobil dan melangkah menuju meja administrasi. Menanyakan jadwal dokter yang ingin dia temui.

"Permisi, Mbak. Apakah Dokter Tomi ada di ruangannya?"

Suster yang menjaga meja tersebut menoleh, kemudian tersenyum. "Ah, iya. Dengan Mas Darial, ya? Dokter Tomi sudah menunggu di ruangannya, Mas."

"Terima kasih, Mbak. Saya langsung ke ruangannya saja."

"Sama-sama, Mas."

Darial melangkah lurus menuju ruangan Dokter Tomi. Meninggalkan suster yang masih saja tersenyum sambil menatapnya. Apakah ada yang salah dengan penampilannya? Pemuda itu rasa tidak. Penampilannya biasa saja. Celana jins hitam, kaos putih serta jaket kulit warna hitam.

Darial sampai di depan sebuah ruangan, pemuda itu mengetuk dua kali pintu di depannya. Tak berselang lama, terdengar sahutan seseorang. Mempersilakan Darial untuk masuk.

"Selamat malam, Dok."

"Malam, Darial. Jadi ada apa? Silakan duduk dulu."

Dokter Tomi menyuruh Darial untuk duduk. Dokter muda itu tersenyum, menampilkan lesung pipi di sebelah kanan. Dia juga melapas kacamata minusnya, menatap lurus ke arah Darial.

"Saya ingin bertanya, apakah obat ini benar obat untuk menyembuhkan kaki yang terluka dan lumpuh sementara?"

Darial menyodorkan plastik kecil yang dia gunakan untuk menaruh obat Dewi tadi. Menyerahkannya kepada Dokter Tomi.

Dokter muda itu mengamati dengan saksama obat yang diberikan oleh Darial. Matanya menyipit, bahkan dia sampai menggunakan lagi kacamata minusnya. Setelahnya, dia menghidu aroma obat tersebut. Lantas menatap Darial yang sedang menanti jawaban.

"Bukan."

Jawaban tersebut membuat Darial tersenyum sekilas, dugaannya benar. Obat Dewi sudah ditukar.

"Lalu, obat apa itu, Dok?"

Dokter Tomi menghela napas pelan sebelum menjawab. "Obat perusak tulang. Saya sendiri kurang begitu yakin. Saya akan membawanya ke lab untuk diperiksa. Yang pasti, ini bukan obat yang sama seperti obat yang saya berikan tempo lalu kepada Dewi."

Di Balik Wisata Jogja (PROSES TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang