2. Ayah

278 130 71
                                    

Aku sedang menunggu jemputanku di halte. Raina dan Amel sudah pulang duluan. Bukan aku saja yang sedang menunggu, banyak juga yang se-SMA denganku yang sedang menunggu jemputannya di halte atau mungkin menunggu bus.

Langit sudah menjelang sore. Namun, Ayah masih belum kunjung datang. Sesibuk apapun Ayah, ia masih sempat mengantar dan menjemputku. Ayah tidak mau supir pribadi.

Aku berusaha mendial nombernya, namun hanya suara operator yang menjawabnya. Kalau aku naik angkot atau bus, aku yakin Ayah pasti akan marah.

Orang-orang yang tadi menunggu jemputan perlahan sudah beranjak pulang. Hanya menyisakan aku saja. Rasanya aku kesal menunggu Ayah. Ingin pulang naik angkot, jam segini angkot sudah tidak ada. Bus pun sama. Ayah membuatku kesal.

Suara klason mengagetkanku. Aku segera berjalan ke arah mobil hitam yang sekarang tengah ditumpangi oleh pria berusia 40an. Aku mengetuk kaca kemudia. Pria itu menurunkan kaca kemudinya, lalu menampilkan wajahnya dan tak lupa kacamata hitam yang menutup matanya.

"Ayah!" panggilku. Dia adalah Ayahku, Emil.

Ayahku hanya terkekeh, seolah kekesalanku adalah suatu hiburan baginya. "Ayo sayang masuk." Ayah tidak menghiraukan kekesalanku. Aku segera masuk ke dalam mobil dan duduk di samping kemudi.

"Maafin Ayah ya, udah jangan marah, tambah jelek kalau kamu marah." Aku melipatkan tanganku di depan dada, "janji deh nanti gak bakal telat jemput lagi," lanjutnya.

"Ayah kalau gak bisa jemput bilang," dumelku. Ayah mengacak rambutku. "Gak bisa dong, Ayahkan harus anter jemput tuan putri Ayah," ucap Ayah.

Sudah aku bilangkan? Ayah memang sangat perhatian kepadaku dan Abang. Sesibuk apapun Ayah ia tidak akan melupakan tanggung jawabnya. Ayah memang panutanku.

Ia bahkan rela menduda demi menjaga perasaan Ibu. Aku tau Ayah begitu mencintai Ibu. Foto pernikahan Ayah dan Ibu pun masih Ayah simpan sampai sekarang. Tak jarang aku melihat Ayah tertidur sambil memeluk foto Ibu.

Ibu beruntung bisa dicintai oleh Ayah. Dan aku beruntung terlahir dari kedua orang tua yang saling mencintai. Namun, keduanya harus berpisah karna takdir. Ibu harus pergi duluan dan meninggalkan Ayah.

Awal meninggalnya Ibu, Ayah sangat kacau. Jarang ada di rumah. Ia lebih sering tidur di kantor. Aku dan abangku terpaksa tinggal dengan nenekku yang di Bandung.

Ayah bilang, ia masih belum menyangka akan ditinggal pergi oleh Ibu selama-lamanya. Rumah yang sekarang aku, Ayah, dan Abang tempati banyak menyimpan kenangan Ibu.

Ayah tidak pernah berniat menjual atau menyewakan rumah itu. Rumah itu terlalu banyak menyimpan seluruh kenangan. Baik suka dan duka Ayah dan Ibu.

Aku senang Ayah masih setia sama Ibu. Ia tidak pernah membicarakan wanita lain dihadapanku ataupun Abang. Mengajak wanita lain berkencanpun Ayah tidak pernah. Tapi aku merasa kasian dengan Ayah. Ia mengurus aku dan Abang seorang diri, tanpa bantuan siapapun.

Aku sudah menyarankan kepada Ayah untuk memperkerjakan ART agar Ayah tidak kelelahan. Namun, Ayah menolak dengan alasan ia bisa mengurus rumah tanpa bantuan ART.

Tidak terasa mobil yang aku dan Ayah tumpangi sudah sampai perkarangan rumah. Rumah kami memang tidak besar, tapi tidak terlalu kecil juga.

"Emm... Sayang, Ayah kayaknya harus ke kantor lagi deh. Soalnya ada meeting dadakan, gak papahkan?" ucap Ayah.

Aku mengangguk. "Gak papah, hati-hati di jalan ya, yah, kalau udah pulang jangan lupa bawa McD," ucapku sambil nyengir tanpa dosa.

Mobil Ayah sudah pergi. Aku tau sebenernya Ayah itu sibuk. Hanya dia ingin memprioritaskan anak daripada pekerjaan. Uh! Aku sayang Ayah.

TENTANG KAU [ FEEDBACK KE CERITA TENEBRIS ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang