⚠️15+ Area! Bullying - mental disorders - harsh words - blood - some crimes are here - please be smart !
____________
Tentang Zivana dan Samahita-si pencinta teh dan si mantan mafia yang doyan nyimpen susu cokelat dalam botol amer-dua orang dengan p...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
“Anak bandar narkoba datang!!!” teriak salah satu siswa berbadan bongsor dengan suara bariton dan raut wajah culas yang membuat Zivana muak setengah hidup.
“Anak pembunuh datang!!!”
Yang lain tak mau kalah, seolah akan demam jika tidak merundung Zivana barang sehari saja. Seolah dengan melayangkan banyak makian akan membuat semangat belajar dalam dada mereka membara. Persetan! Apa mereka tidak tahu kalau perbuatan keji yang mereka lakukan itu sudah membuat mental seorang Praya Gauri Zivana babak belur.
“Heh pecandu narkoba! Gila tahan banget yah lo sekolah. Masih punya muka lo?!” ujar seorang gadis berbadan gempal dengan mata belo. Tangannya yang besar dengan enteng menoyor kepala Zivana sampai tertunguk ke belakang.
“Masih punya malu yah lo datang ke sekolah?! Lihat deh mukanya lusuh begitu, pasti habis make narkoba!” sahut lelaki berbadan kurus yang menerjang betis Zivana sampai gadis itu terhuyung dan pinggulnya berakhir mencium sudut meja.
“Yaiyalah pake narkoba, keluarganya pasti nyetok banyak sabu-sabu. Kakaknya aja pecandu narkoba, tahan jual diri biar bisa beli narkoba.” timpal yang lain memanasi.
“Seperti kata pepatah, buah nggak jatuh jauh dari pohonnya. Anak bandar narkoba yah pasti make narkoba. Gue yakin banget, dia diem-diem ngedar narkoba juga!”
“Hahaha ..., dasar jalang pecandu narkoba!” cibir lelaki jakung yang melemparkan tasnya ke arah Zivana—tepat mengenai kepala gadis itu.
Zivana memejam seraya memegangi kepalanya—lemparan tas berbahan denim itu menjalarkan rasa ngilu di sekujur kepala Zivana, telinganya sampai berdenging sangking kuatnya tas itu menghantamnya.
“Dasar keluarga gila! Bapaknya bandar narkoba, ibunya tukang selingkuh, kakaknya pelacur. Lo juga pelacur, bekas pakean om-om. Hih! Suram banget sih keluarga lo. Mending lo mati deh nyusul bapak lo yang udah bunuh banyak orang!”
Zivana mengepalkan kedua tangan sampai buku-buku jarinya memutih—menahan amarah yang merangsek mintak dimuntahkan. Wajah dinginnya berbicara seolah menyuruh mereka semua untuk berhenti atau dia akan bertindak lebih. Alih-alih menangkap kilat marah yang tidak bercanda dari wajah Zivana, mereka malah semakin banyak mengeluarkan makian sambil tertawa terbahak-bahak.
Daripada menyiksa diri dengan tetap mendengarkan ujaran kebencian yang dilayangkan teman satu kelasnya, Zivana memilih untuk mengeluarkan ponsel—membesarkan volume musik yang dia dengarkan—melalui earphone—salah satu cara melindungi telinga dan hatinya dari ucapan-ucapan sarkas yang akan melukainya lebih parah lagi.