#23 - Shocked

34 10 2
                                    

Ricuh. Suasana kala itu begitu ramai dengan huru-hara. Banyak warga sekitar berbondong-bondong membantu. Ketika ambulans datang, para warga beserta tenaga medis yang ada memberi pertolongan pertama sebelum memasukan adik Arthur itu ke dalam mobil ambulans. Sedangkan Arthur, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ingin berteriak saja ia sudah tak mampu, apalagi untuk berdiri dengan kedua kakinya. Seluruh tenaganya seperti sudah sangat terkuras.

Setelah itu, Arthur dan Remi pergi ke rumah sakit. Arthur menaiki mobil ambulans yang membawa adiknya. Sedangkan Remi menaiki motornya mengikuti mobil ambulans tersebut. Entah, ia tak dapat memandang adiknya saat itu yang wajahnya masih terdapat sisa darah kering menempel. Sebab, selain ia merasa sesak karena melihat kondisi adiknya, ia juga merasa makin sesak ketika melihat wajah Josia yang sedang terbaring lemah, seperti terasa sangat familiar. Rasa familiar itu pun diikuti oleh rasa sesak yang luar biasa. Maka, ia hanya dapat memandang ke belakang; arah jalanan. Dimana motor Remi pun ikut melaju mengikuti.

Sesampainya dirumah sakit, para suster yang berjaga di UGD langsung sigap menangani Josia. Dokter yang sudah standby pun dengan cepat segera mulai menangani Josia. Arthur hanya menunggu di depan ruang periksa bersama dengan Remi. Ia yang melihat wajah Arthur yang masih belum dapat terangkat sedikit mencoba kembali menenangkannya.

Tak lama, dokter yang menangani pun keluar dari ruang periksa. Arthur langsung berdiri dan menanyakan kondisi adiknya di dalam sana.

"Dok? Gimana adek saya?"

"Adik anda mengalami pendarahan serius di kepalanya akibat benturan hebat yang dia alami." ucap pak dokter yang tadi menangani Josia. Arthur masih serius mendengarkan penjelasan pak dokter selanjutnya.

"Jadi dok? Gimana?"

"Jadi, dia harus dirawat. Karena kondisi adik anda sekarang koma."

Mendengar penjelasan dokter itu, Arthur mendadak lemas. Ia kembali terduduk di kursi yang ia duduki barusan. Ia tidak menyangka hal seperti ini akan menimpa adiknya. Remi pun yang juga terkejut mendengarnya, hanya dapat terdiam pula.

"Saya akan melakukan scan di bagian kepalanya setelah ini untuk memastikan apabila terdapat pendarahan otak, sekaligus memantau kondisi adik anda. Jika nanti ada sesuatu hal yang terjadi mengenai kondisinya, maka saya akan merekomendasikan untuk melakukan operasi sesegera mungkin." ujar pak dokter melanjutkan. Arthur masih tetap terdiam. Pak dokter itupun pergi meninggalkan Arthur dan Remi.

"Thur? Mau liat Josia sekarang?" tanya Remi perlahan pada Arthur sesaat kemudian. Arthur hanya mengangguk pelan. Keduanya bangkit berdiri dan masuk ke ruangan dimana Josia ditangani tadi. Terlihat alat bantu pernapasan yang tersambung pada tabung oksigen terpasang pada Josia, juga alat untuk mengecek detak jantung pun ikut terpasang disana. Saat Arthur melihat hal itu, entah mengapa kepalanya menjadi sangat sakit. Perasaan sesak yang sama seperti ketika ia melihat bunga matahari tiruan di rumah ayahnya itu ketika sedang bersih-bersih. Terbayang lagi seseorang dibenaknya ketika melihat semua hal itu. Ia juga merasa familiar dengan situasi ini. Sontak, Arthur langsung memegangi kepalanya sembari meringis menahan sakit.

"Eh eh? Lo kenapa Thur!?"

"Ga. Ga kok gapapa."

Arthur pun perlahan mulai makin mendekat ke ranjang dimana Josia terbaring. Masih terngiang di kepalanya perkataan bapak dokter tadi kalau Josia sekarang ini sedang dalam masa koma. Arthur yang duduk mematung disebelah ranjang terdiam. "Pertama kalinya, adegan di film-film beneran gue liat langsung real action nya. Bahkan itu terjadi sama keluarga gue sendiri." ucap Arthur dengan nada datar.

"Musibah, Thur." ucap Remi sembari memegang pundak Arthur dengan niat untuk menenangkan perasaan Arthur. Tak lama, seorang suster datang untuk meminta Arthur untuk mulai mengurus administrasi, karena Josia harus dirawat inap. Sekaligus pula, Josia akan dipindahkan ke kamar rawat inap. Arthur pun segera pergi ke bagian administrasi dan mulai mengurus segala sesuatunya. Remi mendampingi Josia yang sedang dibawa ke kamar rawat inap.

Selesai dengan urusan administrasi, Arthur lantas pergi ke lantai 5 untuk menuju ke kamar Josia. Kebetulan, ia mendapat kamar VIP dimana didalamnya hanya untuk 1 orang pasien dengan fasilitas yang lumayan mewah yang tidak didapatkan di kamar kelas lain. Sampai di kamar Josia, Remi sudah duduk di sofa disana. Arthur menghampirinya dan duduk disebelahnya.

Beberapa menit kemudian, mood Arthur sudah lebih baikan. Ia mulai merasa enakan untuk mengobrol.

"Tadi pas lagi ngurus administrasi, gue ketemu dokter yang nanganin Josia. Katanya, gue kudu disini ngejagain Josia selama beberapa hari kedepan." ujar Arthur membuka pembicaraan.

"Hah? Terus jadinya lo ga sekolah dong besok?" tanya Remi.

"Ga cuma besok. Mungkin beberapa hari kedepan. Soalnya kan, Josia sekarang kondisinya begitu, dan kata dokter dia belom stabil. Jadi kudu ada yang ngedampingin." jelas Arthur panjang lebar.

"Ga nelpon mama atau papa lo aja?"

"Udah gue telpon. Tapi nomornya ga aktif dua-duanya." jelas Arthur dengan muka murung.

"Ya udah. Nanti pas lo mau balik, gue nitip surat izin ya ke lo."

"Iyaa."

"Ya udah Rem, temenin gue cari makan yuk. Laper gue." pinta Arthur karena mulai merasa lapar. Remi mengiyakan permintaan Arthur. Mengingat hari sudah malam, sudah waktunya perut mereka diisi kembali dengan makanan.

Sampai di kantin rumah sakit, Arthur membeli nasi goreng beserta cemilan ringan lainnya. Sama halnya dengan Remi. Sembari menyantap makanan mereka, Arthur mulai membuka pembicaraan.

"Dari waktu itu, gue kayak liat orang aneh ngikutin Josia mulu, Rem. Gatau siapa."

"Orang aneh? Kayak gimana?"

"Yaa iya. Bajunya tuh tertutup banget kan. Terus tingkahnya juga agak aneh. Waktu gue ke GOR buat nengokin Josia yang lagi tanding, dia papasan ama Josia di gang kecil. Tapi entah kenapa, gue jadi merinding pas liat itu orang. Soalnya kayak keliatan senyum-senyum sendiri gitu sambil kayak pelan-pelan ngedeketin Josia gitu." jelas Arthur panjang lebar.

"Yaa. Gue sih gatau itu siapa. Tapi yang pasti, lo kudu hati-hati dalam ngejaga diri lo sendiri maupun adek-adek lo." ujar Remi meresponi penjelasan panjang lebar Arthur tadi.

"Oh iya. Dirumah kan ada Elizabeth. Eh Rem, nanti pas lo mau balik, titipin nasi goreng ya ke dia. Ini gue mau mesen lagi dulu buat dibungkus." ucap Arthur yang baru teringat akan Elizabeth dirumah.

"Eh, ga usah deh. Gue nanti mau balik ke rumah dulu. Ngambil baju." ucap Arthur cepat karena teringat ia harus mengambil baju ganti terlebih dahulu.

"Ya udah. Nanti sekalian gua anterin ya ke rumah lo." ujar Remi memberi bantuan kepada Arthur.

"Iya. Makasih ya Rem. Makasi banget kak." ucap Arthur senang karena memiliki seorang sahabat yang sangat baik, yang sudah terasa seperti kakaknya sendiri.

"Iyaa. Ya udah, ayo ke kamar Josia lagi." ajak Remi.

"Ya udah ayo."

Sesampainya dikamar, dokter yang menangani Josia baru selesai mengecek lagi kondisi Josia. Dokter mengatakan bahwa tidak perlu dilakukan operasi. Hanya saja, Arthur harus menemani Josia selama beberapa hari di rumah sakit.

Spring Day [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang