14

234 53 51
                                    

"Wanita bernama Salwa itu, saudari dari Ustadz Alif, benar?" Hasya mengangguk.

"Kenapa dia tidak menyukaimu, Hasya? Apakah diantara kalian pernah ada hal buruk yang terjadi? Dan menjadi dendam?" tanya Arka ingin tahu. Kali ini, Hasya menggeleng.

"Saya tidak memiliki masalah dengannya, dan sayapun tidak mengetahui karena sebab apa wanita itu membenci saya. Seingat saya ... saya tidak sering bersosialisasi dengannya. Bahkan, untuk sekedar menyapa pun tidak. Karena di asrama dulu, saya dan dia berada di gedung yang berbeda. Berjumpa pun, hanya saat kegiatan mengaji saja," jelas Hasya panjang lebar, gadis itu menarik nafasnya dalam-dalam.

"Sangat tidak masuk akal sekali, jika wanita itu membenci hanya karena Ustadz Alif memiliki hubungan lebih denganmu, Hasya."

"Sudahlah, lupakan." Hasya tersenyum kecil.

_____

Dua orang gadis berjilbab hitam serta almamater berwarna merah yang melapisi tubuhnya, terlihat sedang berjalan secara beriringan. Keduanya, baru saja keluar dari ruangan Ustadzah. Beberapa menit lalu, Hasya dan Tari meminta izin untuk pergi ke pasar beberapa jam.

"Alhamdulilah, untung di izinin ya, Sya," ucap Tari sembari terus berjalan lebih cepat dari temannya yang sedari tadi di ajak bicara.

"Alhamdulilah," jawab Hasya, gadis itu sedikit tersenyum. Melihat Tari yang terlihat sangat bahagia saat hendak menuju keluar dari gerbang besar asrama.

Keduanya terus berjalan, hingga tak terasa. Kini mereka sudah sampai di penghujung gang yang menghubungkan dari kampung sebrang dengan jalan raya. Berdiri di pinggir jalan seraya menunggu angkot yang nanti hendak membawa mereka ke tempat tujuan.


"Aduh, panas banget sih. Angkot kok tumben lama banget ya, Sya." Tari mengusap peluhnya, sembari terus melihat keberadaan angkot yang tak juga kunjung datang.

"Sabar," ucap Hasya menangkan. Tak lama setelah itu, angkot berwarna hitam terlihat dari kejauhan. Membuat satu lengan kanan Tari melambai-lambai kedepan.

Tin tin.

Saat supir di balik stri kemudi menginjak pedal rem, dengan cepat Hasya dan Tari masuk kedalam. Ikut berbaur dengan beberapa ibu-ibu dan gadis sebayanya di dalam sana.

"Tar, hati-hati loh. Pegangan, nanti kamu jatoh," ucap Hasya, sedari tadi ia memperhatikan Tari yang duduk di kursi kecil dekat pintu keluar. Karena memang, Tari tak biasa naik angkot. Selalu mual katanya, jika berada di dalam angkot. Apalagi jika sudah bersama banyak penumpang. Hasya pun sama halnya dulu, namun karena sudah terbiasa. Gadis itu kini tidak lagi merasakan mual itu jika angkot sudah di jalankan.

"Iya Sya, ini pegangan kok," jawab Tari dengan cepat.

Hingga lima menit berlalu, akhirnya tempat tujuan sudah berada di depan mata.

"Kiri mang," ucap Hasya, dalam hitungan detik angkutan umum itu menepi di pinggir jalan yang sangat ramai.

"Ini uangnya, makasih ya mang," tambah Hasya lagi sembari memberi tiga lembar uang dua ribuan. Sedangkan Tari, gadis itu berjalan lebih dulu.

"Sya, cepetan!" seru Tari sembari melambai, kali ini gadis itu sudah berada di sebuah stand yang menjajakan beberapa baju dan kain-kain sarung seperti yang mereka gunakan.

U S T A D Z  I'm here!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang