Chap 01| Merayakan Kehilangan

21.9K 1.7K 204
                                    

Chap 01. Merayakan Kehilangan

Ini masih musim kemarau, angin masih berhembus dari arah timur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ini masih musim kemarau, angin masih berhembus dari arah timur. Tapi bagian langit yang manaungi Jakarta Barat terus mengabu dengan udara dingin yang menyerapih-ikut berkabung atas kematian Aryo-kebahagiaan satu—satunya yang disisakan Tuhan untuk Praya Gauri Zivana.

“Ayah, kenapa perginya jauh banget sih? Kalo Adek kangen gimana? Adek sendirian,” keluh Zivana dengan sorot mata terluka parah.

Serak suaranya menahan tangis, “Apa ayah dengar Adek?”

“Ayah!!!” teriaknya kalut sambil memukul-mukul gundukan tanah di hadapannya. Dia kemudian mengusap-usap kedua telapak tangannya dengan wajah pilu yang membiru—memohon agar ayahnya segera menyahut, menggenggam dan mengajaknya pergi dari sana.

“Ayah lihat tangan Adek,” adu Zivana menjulurkan tangannya, memperlihatkan luka-luka yang sebagian sudah mengering dan sebagian lagi masih basah.

Menelan saliva susah payah, dia kembali berujar, “Ayah ayo obatin. Adek setiap hari dapet luka ini. Ayah mau obatin? Lihat wajah Adek juga banyak lukanya. Ayah ayo obatin!!!”

Pipinya terasa panas lantaran bulir air dari matanya yang membengkak terus mengalir deras. Dia menunduk dengan bahu yang bergetar hebat. Tahun kemarin ayahnya bolos merayakan ulang tahunnya. Tahun ini dia memang merayakan ulang tahun bersama ayahnya, tapi dalam versi yang sangat menyakitkan; merayakan ulang tahun bersama jasad yang sudah dipeluk bumi begitu erat. Tanpa kue ulang tahun, tanpa tiup lilin.

“Ayah ayo pulang, tiup lilin sama Adek!” Dia terus merengek seperti anak kecil.

Gemerisik pertemuan antara daun-daun pohon kamboja yang dibelai angin menjadi teman Zivana merayakan kematian ayahnya yang malang. Tak ada kerabat yang berlayat mengantarkan lelaki itu ke peristirahatan terakhirnya termasuk ibu dan kakaknya.

Udara berangin sukses membuat beberapa bunga kamboja berguguran, mendarat di samping Zivana duduk. Tangan penuh luka itu bergerak mengambil bunga dengan mahkota bewarna putih dan kuning yang mengisi intinya untuk kemudian disusun di atas pusara ayahnya yang sepi—hanya diguyur air mawar yang dia beli dengan sisa uang di tasnya.

“Ay-ayah ...,” lirihnya. Tangisnya masih berjatuhan. Menjejak di pipi penuh lebam dan lecet.

Tidak peduli seberapa kotor pekerjaan ayahnya, asal dia masih bisa mendekap lelaki itu, masih bisa menerima paket-paket berisi teh berbagai jenis yang akan dia nikmati di waktu sore menjelang malam. Walau ayahnya tidak bisa membersamai dia dua puluh empat jam, tidak mengapa. Asal lelaki itu masih ada.

Tubuh Zivana mulai lemas tak berdaya. Dia limbung ke atas gundukan tanah basah, memeluk pusara sang ayah seerat yang dia bisa. Seragam sekolah yang masih melekat di tubuh penuh memar dan luka itu dipenuhi tanah yang membuatnya terlihat makin lecek. Dia terus menangis sampai air matanya kering.

Tentang Kita; Yuanfen (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang