BAB 3. Sampan Sudah Siap Puan, Mari Seberangi Jogja

20.8K 1.6K 329
                                    

Holaaa 3285 kata menyapa Yorobundilll!!!

Jangan lupa support author dengan cara kasih vote dan komenn yahh

~Selamat membaca~

BAB 3. Sampan Sudah Siap Puan, Mari Seberangi Jogja

"Puan, saya siapkan sampan dan lagu-lagu periang hati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Puan, saya siapkan sampan dan lagu-lagu periang hati. Menyeberanglah bersama saya hingga tua nanti. Saya tidak akan memberi banyak janji, tapi saya usahakan perihal senangmu sampai saya mati."—dari lelaki yang sanggup memberikan dunianya. 





Dia melihat genangan darah mengalir dari tubuh seorang pria. Tersedak-sedak antara batuk dan bernapas, pria itu sedang sakaratul maut, bibirnya bergerak mencoba merapalkan sesuatu namun suara petir memecahkan konsentrasinya untuk membaca pergerakan bibir pria itu lalu kilatan cahaya membuatnya terlempar ke ruang peristiwa lain di mana kobaran api melahap semua keberaniannya. Langkahnya bagai diberi perekat hingga tak bisa melangkah dengan cepat. Dia seperti seonggok daging berdiri di depan rumah sederhana yang atmanya raib entah ke mana. Bunyi percikan-percikan pelepasan panas dan cahaya dari reaksi pembakaran telah menguasai telinga membuatnya spontan mengangkat kedua telapak tangan untuk meredam bisingnya. Samar terdengar di antara bunyi percikan itu, ada teriakan seorang wanita dan suara tangis anak kecil. Gelombang suara itu terus menerjang sepotong jaringan tipis yang terletak di saluran akhir telinga, berulang-ulang membuat oksigen yang ada di seluruh badannya terasa hilang. Dadanya sesak, tangis dibendung di ujung kelopak. Dia nyaris gila dalam dua peristiwa sampai suara lain muncul dan menariknya keluar dari sana.

"Pak, sudah sampai," ucap seorang pria umur 50 tahunan setelah berhasil memarkirkan mobilnya di lahan parkir Kopi Klotok Bude Putri yang terletak di Jalan Kaliurang, Area Sawah, Pakembinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Lelaki itu mengerjap mengumpulkan nyawa. Mimpi buruk, lagi. Dia lupa kapan terakhir bisa tidur nyenyak. Jika yang lain sangat mendambakan tidur untuk bisa beristirahat dengan tenang, maka dia kebalikannya, di dalam tidur dia kelelahan sebab mendapatkan banyak ketakutan yang bahkan lebih luas dari samudera.

Dia melepas dasi yang terikat juga dua kancing teratas kemeja putih tulangnya lalu mengecek penampilan rambutnya di cermin bulat yang sering dia bawa. Takut ada yang berantakan sebab terlelap sebentar. Ini pasti karena beberapa hari bolak-balik luar kota untuk beberapa urusan pekerjaan. Dia suka kerja, karena kerja membuatnya sibuk dan sibuk membuatnya lalai pada apa yang membuatnya terusik sampai menjadikan dia seorang manusia yang menganggap bahwa hidup begitu tidak asyik karena dunia sangat berisik.

Di sampingnya duduk, seorang anak kecil berumur 7 tahun sedang tertidur sambil memeluk buku kalkulus dan antropologi. Dia tersenyum simpul, menjulur tangan mengelus pelan pipi anak itu.

"Pak, Byantara sedang tidur. Nanti saat sampai di museum tolong bangunkan dia pelan-pelan, ya. Tunggu dia sampai pulang." Dia berucap dengan suara berat dan ekspresi datar sembari menyelimuti anak laki-laki berwajah oval, hidung mancung dan bibir mungil serta bulu mata lentik itu dengan jas berwarna coklat miliknya.

YuanfenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang