Chap 02| Bunuh Diri

18.2K 1.5K 307
                                    

Chap 02| Bunuh Diri

Udara berangin mengepung Cengkareng

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Udara berangin mengepung Cengkareng. Dalam langkah yang terasa gamang, Zivana terus menyusuri trotoar, jalanan lumayan padat karena jam segini memang jamnya orang-orang pulang kerja. Di sekitarnya banyak pejalan kaki yang saling bercengkrama dalam kehangatan, ada juga orang-orang yang berjalan sendirian tapi bercakap ria di telpon. Zivana hanya bisa menghela napas berat. Setelah ayah, ibu, dan kakaknya pergi. Di dunia ini, dia hanya sendirian.

Matanya yang kosong mengindikasikan isi kepalanya yang berlarian ke mana-mana. Entah kenapa pula sebuah suara yang tidak pernah ingin dia dengarkan bergaung nyaring dalam kepalanya yang berisik.

Saya menyesal sudah melahirkan anak tidak berguna seperti kamu!

Kamu itu bisanya cuma nyusahin!

“Saya malu punya anak kayak kamu! Coba sebutkan apa yang bisa dibanggakan dari kamu? Nggak ada, karena kamu sebelas dua belas sama lelaki sialan itu!”

Coba sekali-sekali kamu itu bikin bangga saya! Anak-anak temen saya semuanya berprestasi, lah kamu nggak guna! Di sekolah kamu itu ngapain aja?!

Suara itu terus terputar layaknya degungan lebah yang memekakkan telinga. Zivana segera membesarkan volume ponselnya agar lagu yang tersalur melalui earphone yang menyumbat telinganya bisa menimbun kalimat-kalimat itu.

Tidak masalah jika kalimat itu keluar dari mulut orang lain. Masalahnya kalimat itu keluar dari mulut wanita yang melahirkannya ke dunia. Sesosok yang dulu sangat ia banggakan. Sesosok yang dulu terasa begitu hebat dan sempurna. Pada akhirnya orangtua tetaplah manusia—berpeluang besar untuk menghancurkan mental anak-anaknya lewat tutur kata dan sikap.

Zivana terus berjalan dengan perasaan hampa. Di sebelah kanan dia berjalan ada booth yang menjual telur gulung dan teh poci. Gadis berkulit putih bersih itu meneguk ludah berkali-kali kemudian merogoh kantung seragam SMA-nya, mencari pundi-pundi uang. Dia menatap miris telapak tangan yang menampung uang sebanyak seribu rupiah—pecahan koin.

“Beli permen aja cuma dapet 6,” celetuknya.

Zivana menarik tudung hoodie untuk menghalau dingin yang menusuk telinganya. Sambil terus berjalan dia menggosok kedua telapak tangannya—menjaga tubuhnya untuk tetap hangat—secara dia sensitif dengan udara dingin. Seharusnya udara musim kemarau tidak sedingin ini. Barangkali karena pergerakan angin yang tidak menentu—hujan jadi sering bertandang di musim kemarau.

Bugh ...

Seorang pemuda awal 25 tahun dengan bekas jahitan di pipinya tiba-tiba menerjang Zivana. Jelas membuat Zivana yang tidak sadar terpental ke atas aspal. Pemuda berwajah kotak itu berjongkok, menarik rambut Zivana ke belakang dengan brutal. Zivana lantas meringis kesakitan.

Tentang Kita; Yuanfen (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang