Radio #8 Monocrome

273 123 17
                                    

Lewat embus angin yang dingin pagi itu
Hati beku tak lagi sendiri dalam semu
Ada sapa yang menatap netra ketika bertemu
Memberi isyarat syahdu perihal rasa yang belum menjadi satu
Tuhan, biarkan kota ini terus bersenandung merdu
Menyapa jutaan jiwa melalui rangkaian lagu
Pagi itu, pria berjas biru memegang kuas bercak kelabu
Merangkai warna, tentang mega yang menyapu langit kala itu

103,1 Romanseu FM

"Sori ya, minum kopinya nggak jadi hari ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sori ya, minum kopinya nggak jadi hari ini. Gue benar-benar nggak tau kalau Kak Jeff udah nutup kafenya sore tadi. Biasanya jam sebelasan baru tutup." Saffa berujar pada Arya yang sedang sibuk menendangi beberapa kerikil.

"Nggak apa-apa. Lagian gue juga nggak ingat lo pernah ada janji buat traktirin gue kopi."

"Ih, masih muda udah pikun. Tapi bukan kopi sih sebenarnya, gue cuma mau ajak lo ke Kafenya Kak Jeff."

"Oh.., dibilang nggak apa-apa juga. Lagian gue udah pernah kesana, ketemu lo juga. By the way,  ini rumah lo lewat mana?" Arya bertanya setelah keduanya sampai disebuah persimpangan.

"Masih terus. Lah rumah lo dimana? Searah? Masa sih?"

Arya mendegus, "ya gue anterin lo pulang dulu lah."

"Eh nggak usah. Gue udah biasa pulang sendiri, kok."

"Rasanya nggak enak aja kalau biarin lo jalan sendirian sampai rumah. Langit udah gelap dan Jogja nggak seperti kota-kota di negara maju sana yang jalanannya aman untuk perempuan waktu malam." Demi apapun, itu adalah kalimat terpanjang yang Arya ucapkan hari ini.

"Maaf ya."

"Nggak usah minta maaf, lo nggak melakukan kesalahan."

Mereka tidak banyak bicara selama sisa perjalanan, hanya mengobrol seperlunya, namun Saffa merasa nyaman berada di dekat Arya. Entah kenapa, ada sesuatu dalam aura cowok itu yang mengingatkan Saffa pada angin ditengah terik cuaca, selalu berhasil membuatnya tenang dan sejuk secara bersamaan. Dan satu lagi, Arya itu tidak secuek seperti apa yang anak-anak kampus bilang.

"Hng..., sebenarnya gue masih menyayangkan banget sih hari ini lo nggak bisa ketemu sama Kak Jeff. Padahal mau gue kenalin. Eh, tau nggak? Kak Jeff itu orang pertama yang beli lukisan gue terus di pajang di kafe nya. Bangga banget huhuu." Saffa kembali membuka percakapan, enggan terjebak dalam kesunyian lebih lama.

"Kalau gitu gue bisa bilang, gue lebih bangga."

"Kenapa? Lukisan lo pernah dipajang di pameran?"

"Salah satunya."

Untuk beberapa saat, Saffa jadi merasa iri dengan cowok didepannya.

"Tapi bukan itu alasan utamanya."

"Terus?"

Arya tersenyum muram. "Karena yang beli lukisan gue pertama kali itu... Mama."

Kalimat itu membuat Arya jadi semakin merindukan Mama, terutama cara wanita itu yang selalu berhasil membuat Arya lebih semangat untuk membuat karya. Cowok itu tersenyum sekilas, mendadak teringat tentang sepotong peristiwa pada suatu pagi di masa silam. Hari itu adalah hari minggu kesekian setelah Mama sakit dan Arya mogok makan bersama anggota keluarga lainnya. Sekolah libur, jadi cowok itu memilih menghabiskan sepanjang hari di dalam kamar sambil iseng mencorat-coret bagian belakang buku tulisnya. Ternyata Mama melihat itu, jadi saat selesai makan siang, wanita itu masuk ke kamarnya sambil tersenyum ramah.

Radio RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang