Nomor 1 Kehidupan Rama

2K 1.7K 407
                                    

Sebuah meja berbahan dasar kayu jati berbentuk bundar tampak dilapisi taplak polos berwarna putih gading. Hiasan lilin diatur berada di tengah-tengah meja dengan menggunakan tempat yang membentuk menara segitiga, dua lilin di bawah dan satu lilin di atas dengan ukuran yang sama yaitu 15 cm.

"Dengar-dengar, ruangan ini mau dipakai keluarga Haidi, ya?" celetuk salah seorang pelayan dengan name tag Sarah.

Teman Sarah yang sedang mengelap piring dengan tisu menyaut, "Iya, si calon anggota dewan itu. Mantan suami Angela."

Sarah nampak tertarik membahas lebih lanjut. "Yang anaknya ganteng itu, kan? Adikku satu sekolah dengan dia lho. Ih, auranya nggak ketolong, gantengnya nggak manusiawi. Namanya kalo nggak salah---"

"Yang kerja tangan, bukan mulut," tegur perempuan paling tua di antara ketiganya. Sontak Sarah dan temannya itu langsung kembali melanjutkan pekerjaan.

Ada tiga perempuan berpakaian hitam merah di ruangan ini. Mereka tengah meletakkan piring berisi makanan lezat di atas meja, terdapat jenis seafood, pasta, olahan daging, sayuran segar serta buah-buahan. Berlanjut penataan peralatan makan berupa; jejeran sendok, garpu, dan pisau disusun di sisi kiri dan kanan piring dengan rapi. Gelas dengan kaki setinggi dua jari diisi air putih.

Penyusunan meja itu dilakukan di sebuah ruangan VVIP yang terdapat di restoran mewah ibukota. Ruangan ini dicat dengan warna coklat tua dengan mengikuti gaya elegan khas Eropa. Lukisan karya Van Gogh terpajang indah di dinding yang langsung menghadap meja. Empat lampu kuning keemasan tersebar di setiap sudut, menciptakan kesan hangat dan elegan. Di tengah ruangan sebuah lampu gantung sedang menjuntai, berada satu setengah meter dari atas meja. Setelah semua penataan meja selesai, ketiga pelayan itu pergi.

Berselang 10 menit kemudian muncul seorang pria dewasa memakai tuxedo berwarna abu-abu. Rambutnya rapi, kerutan di sudut matanya tampak samar, tapi auranya masih tampak seperti pria berkepala tiga. Dari belakang pria tadi, muncullah anak berumur 18 tahun, tinggi badannya mencapai 175 cm, bentuk wajahnya kotak, dan sama sekali tak memiliki sedikit gurat kebahagiaan tentang makan siang hari ini. Dari bentuk hidung dan matanya menurun dari pria berjas abu tadi.

Pintu yang masih terbuka kembali menampilkan perempuan paruh baya  berumur kisaran 38-an, nampak cantik mengenakan gaun berwarna biru gelap selutut berbahan moscrepee. Rambutnya pendek berwarna hitam pekat sebahu bergelombang. Punya wajah tirus dari hasil meng-conceler yang justru menciptakan tulangnya pipi terlihat.

Terakhir masuk adalah seorang laki-laki muda yang memakai earphone sembari bermain ponsel. Bibirnya bergerak-gerak mengikuti lagu yang ia dengar. Kakinya yang panjang langsung mengambil tempat dan duduk duluan di kursi tanpa harus menunggu orang lain mempersilakan. Tidak sopan. Namun, tidak ada yang peduli. Anak lelaki berumur 17 tahun ini punya lesung pipi yang muncul ketika ia sangat gembira, dan itu terjadi sekarang.

"Ayo duduk, Sal." Suara berat dan sedikit serak dari Aldigo Haidi muncul. Pria berumur 44 tahun itu mempersilakan Salsa, yang tengah mengagumi ruangan ini, dengan tersenyum tipis.

"Kamu emang pinter cari ruangan. Aku suka," kata Salsa, wanita karier yang punya segudang talenta di dunia bisnis fashion dan interior. Bibirnya yang diberi polesan lipstik berwarna cherry tersungging ke atas. Bokongnya menduduki kursi di samping sang putra yang tersenyum bahagia karena bermain ponsel.

"Baguslah kamu suka." Helaan napas leganya keluar, hampir saja ia takut kalau seleranya ini ditolak oleh Salsa. Kepalanya sedikit menoleh ke kiri, samping Salsa. "Bagaimana menurut kamu, Zack?"

BEFORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang