"Kau... um, mau tambah kopi?" Maggie harus mengalihkan perhatian dari penampilan fisik Ben yang menggiurkan.

"Tidak. Kau punya rencana hari ini?"

"Yah, bertemu editorku. Aku harus menyetor tiga bab awal hari ini." Maggie harus berkonsentrasi penuh agar bisa membawa situasi ini tidak menjadi canggung. "Tapi, aku baru menyelesaikan dua bab." Dia menyematkan kekeh kecil sebagai penutup.

"Ah, apa itu gara-gara semalam? Maksudku, kau sedang mengerjakan sesuatu di laptopmu saat aku keluar kamar dan kita...." Ben mulanya berbicara dengan intonasi cepat, lalu tiba-tiba menghentikannya begitu saja.

Di sisi lain, Maggie tidak berhasil mengikis kecanggungan di antara mereka. Bermaksud membawa tawa ke dalam percakapan mereka, malah mengembalikan ingatan Ben tentang kejadian semalam. Refleks, Maggie menggenggam tangan Ben, berniat meyakinkan semua baik-baik saja. Namun, di luar keinginannya, hanya dibutuhkan satu sentuhan untuk menyadari bahwa pesona pria itu terlalu kuat. Maggie tidak bisa berhenti menatap dan begitu ingin menyentuh setiap bagian tubuh Ben.

"Maggie." Entah bagaimana, panggilan itu terdengar indah di telinga si pemilik nama. "Kau tidak apa-apa?"

"Eh? Um, yah." Maggie menepuk pelan beberapa kali tangan yang semula digenggamnya. "Kau tidak perlu khawatir. Aku memang sedikit kurang bersemangat mengerjakannya dan itu bukan karena semalam."

Maggie menjauhkan tangannya, sementara Ben begitu ingin menarik tangan wanita itu.

"Ya," ucap Ben yang kemudian bangkit.

"Eh, kau sudah mau pergi? Kau bahkan tidak menyentuh makananmu." Maggie mengekori Ben menuju ruang TV.

Ben berpaling sekilas pada Maggie untuk mengangguk, kemudian meraih jaket jinnya yang tergeletak di sofa. Wanita itu berlama-lama menatapnya yang sedang memasukkan satu per satu tangan ke dalam lengan jaket. Pesona Ben naik satu tingkat setelah jaket itu sempurna menempel di tubuh proporsionalnya.

"Aku harus menampakkan diri dulu pada Leah dan mom, sebelum mereka membom ponselku dengan panggilan telepon."

Ben membawa langkahnya melewati lorong menuju pintu depan yang diikuti Maggie. Dia sudah tiba di depan pintu, tapi masih belum rela pertemuannya akan berakhir.

"Hati-hati, sampai jumpa lagi," ucap Maggie.

Ben berbalik yang merasa sial karena bibirnya kelu mengucapkan kalimat perpisahan. Rindunya sudah menggunung dan dia ingin Maggie tahu itu.

"Mag."

"Ya?"

Tingginya yang kurang sedikit dari bahu Ben, membuat Maggie harus lebih mendongak agar bisa tepat menatap matanya. Namun, pria itu tidak kunjung bersuara. Sejak dulu, dia tahu posisinya tiap kali bersama Ben, tapi tatapan itu mengacaukan degup jantungnya yang semula normal, membuat Maggie berada di wilayah tidak familier.

Ben memberanikan diri menyentuh wanita itu, melingkarkan tangan kanannya di pinggang Maggie yang tidak menolak ketika wajah Ben menghapus jarak mereka. Bibir mereka bertemu, saling menekan, dan berganti menyesap satu sama lain.

Ben melepaskan ciuman lebih dulu, lalu berucap, "Aku sangat merindukanmu, Mag."

***

"Kau pasti ingin aku mati muda."

"Kau berlebihan, Amy."

Satu decakan dikeluarkan Amanda Collins, editor kesayangan Maggie, yang kini sedang memutar kursi tempatnya duduk guna menghadap penulisnya. Ekspresi wajahnya terlihat kesal sekaligus cemas. Dipercaya menjadi editor tetap Maggie Morris, tidak lantas membuat seluruh pekerjaannya menjadi mudah. Ini bukan kali pertama, penulisnya itu berutang bab dan molor dari tenggat waktu. Namun, untuk novel ketiganya, Amy punya tanggung jawab besar agar karya itu bisa terbit sesuai waktu. Antusias pecinta novel sangat menantikan karya terbaru Maggie, setelah dua novel sebelumnya menduduki penjualan terbaik.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

UNDENIABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang