|3|

94 10 21
                                    

Ben terbangun karena tiba-tiba merasa sangat haus, tapi kepalanya bukan main pusing. Alkohol ternyata seburuk bayangannya, padahal dia ingin menjadikan minuman itu adiksi keduanya setelah Maggie. Kedua matanya sontak terbuka sempurna teringat akan nama itu. Ya, Ben memang cukup mabuk, tapi dia bisa mengingat sosok wanita berambut pirang yang duduk di hadapannya bukan bayang maya rekaan alam bawah sadarnya.

Ben mencoba menghirup udara sebanyak mungkin ketika otaknya bekerja menyusun potongan-potongan ingatannya di bar Hansol. Rasa gelisah itu datang lagi. Meski kepalanya terasa berat dan penglihatannya menjadi sedikit tidak fokus, dia masih bisa melihat bibir merah itu melemparkan senyum singkat padanya. Ben juga mendengar lagi 'sebutan kesayangan' yang mulanya dia benci, tapi membuatnya rindu setengah mati.

Ben buru-buru beranjak, kerongkongannya mendadak terasa ribuan kali lebih kering dari sebelumnya. Dia keluar dari kamar dan tentu saja tidak menduga Maggie berada di ruang tengah tepat depan matanya. Wanita itu memakai kacamata dan rambut pirangnya digelung asal ke atas, menyisakan andam surai di batas-batas keningnya. Maggie sedang mengetik sesuatu dalam laptopnya ditemani lembaran-lembaran kertas yang berserakan di atas meja.

"Hai."

Maggie sedikit terperanjat dari duduknya dan memelotot ke arah Ben. "Astaga! Kau mengagetkanku, Junior," gerutunya sambil menutup laptop dan meletakkannya di atas meja.

Ben terkekeh-kekeh dan mendekati sofa yang diduduki Maggie. "Apa yang sedang kau kerjakan?"

"Begitukah cara seorang Henriette menyapa orang lain ketika bertemu lagi untuk pertama kalinya?" Maggie melepaskan kacamata dan menyelipkan satu tangkainya ke dalam kerah kaus.

Ben yang terus memperhatikan, menelan ludahnya ketika kacamata Maggie berhasil menggantung sempurna di sana. Mendadak memikirkan keberadaan satu tangkai kacamata di balik kaus putih polos itu. Sejak dulu, Maggie memang memiliki wajah yang cantik, tapi Ben tidak pernah membayangkan jika wanita itu sekarang memiliki tubuh lebih berisi di tempat yang tepat. Ben diam-diam merutuk, mungkin minuman keras merebut kesadarannya terlalu jauh.

"Yah, tidak. Um, jadi bagaimana kabarmu?"

"Cukup baik untuk membawa orang yang mabuk berat masuk ke apartemenku, sendirian," balas Maggie penuh penekanan di akhir katanya.

"Oh, sial. Maafkan aku... dan terima kasih."

Maggie tersenyum lebar, merasa berhasil menjaili pria itu. "Itu bukan apa-apa. Kenapa kau bangun?"

"Aku haus." Pada kenyataannya, Ben hampir melupakan rasa haus itu setelah melihat senyum Maggie.

Maggie bangkit dan mengambil segelas air dari dapur, lalu kembali bergabung dengan Ben.

"Terima kasih," ucap Ben, menerima gelas itu dari tangan Maggie. Jemarinya bersentuhan, mengantarkan gelenyar aneh yang perlahan merambati seluruh tubuhnya.

Maggie membereskan kertas yang berserakan menjadi satu tumpukan rapi dan diletakkan bersisian dengan laptopnya. "Akhirnya kau pulang. Selamat datang, Junior."

Maggie mengalihkan tatapan pada Ben yang sedang meneguk minumannya. Pria itu seketika melebarkan matanya karena terkejut, tapi tidak cukup kuat untuk membuatnya tersedak.

"Um, yah. Terima kasih."

Tawa pun lolos dari mulut Maggie sesaat setelah Ben menimpali ucapannya.

"Ada yang lucu?"

Maggie mengangguk. "Kau," yang dibalas Ben dengan mengangkat sebelah alisnya karena bingung. "Apa kau masih mabuk? Kau terlihat gugup sekali," sambung Maggie.

UNDENIABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang