Samar-samar, Hasya tersenyum kecil. Di barengi dengan setitik air yang terjun dari sudut manik matanya. Tak lama, helaan nafas panjang terdengar, gadis itu mencoba untuk kembali menstabilkan perasaannya.
"Kenapa aku sangat lemah seperti ini? Padahal, hanya mengingat saja. Tapi kenapa rasanya sangat sakit?" batin Hasya di dalam hatinya.
Dalam hitungan detik, deretan-deretan kisah yang dulu ia rasakan terpapar jelas di hadapannya. Membuat Hasya, sedikit mengerutkan kening. Bukan karena apa, tapi karena gadis itu merasa kembali masuk dalam lingkar kisah masa lalunya.
Sedangkan lelaki berkemeja hitam yang duduk di hadapannya, sedari tadi diam dan mendengarkan. Sesekali, lelaki itu tersenyum. Mungkin, baginya ada hal yang lucu tentang pribadi Hasya di jaman dulu. Entah itu dari cara berbicara yang sangat berbeda dengan saat ini, atau mungkin dari sikap Hasya yang terdengar menggemaskan jika sudah lolos kendali. Seperti halnya, berteriak meminta tumpangan pada mobil putih, mungkin.
_______
Tujuh hari sudah berlalu, dan hari ini. Seorang gadis cantik terlihat sedang sibuk di depan cermin berukuran besar di hadapannya. Lengan lentiknya begitu sibuk memoleskan bedak tabur pada permukaan kulit putih bagian wajahnya.
Sembari terus bersenandung solawat, lengan Hasya kini meraih sebuah lipbalm. Lalu mengoleskan sedikit pada permukaan bibirnya.
"Oke, beres," ucap Hasya, setelahnya gadis itu segera menyambar jilbab segi empat berwarna hitam dan langsung mengenakannya.
Beberapa detik setelahnya, gadis itupun meraih dua harpes berukuran sedang yang berisikan pakaian-pakaiannya untuk menjalani hari-hari di asrama kembali.
Hasya melangkahkan kakinya ke arah ruang tengah, waktu menunjukan pukul tiga sore. Lima belas menit yang lalu, sang Abi meminta Hasya untuk segera bersiap untuk kembali ke asrama, sekaligus pergi ke acara tahunan di pondok pesantren tak jauh dari tempat Hasya menimba ilmu.
"Sudah siap, Sya?" tanya wanita hampir paruh baya yang baru saja keluar dari sebuah kamar. Hasya mengangguk kecil sebagai jawaban.
"Berangkat sekarang, Mi?" tanya Hasya memastikan. Sang Umi yang di berikan pertanyaan mengangguk dengan cepat.
"Abi mana?" Hasya kembali bertanya.
Selang beberapa detik Hasya melontarkan pertanyaan itu, seorang lelaki hampir paruh baya dengan baju koko berwarna putih serta sorban yang melilit pada pundaknya berjalan dengan gontai menghampiri Hasya dan sang Umi di ruang tengah.
Setelah di rasa semua siap, sang Abi berjalan lebih dulu ke teras depan. Tak lama, segera masuk ke dalam kuda besi yang sudah di siapkan sebelumnya. Dan dengan cepat pula, Hasya berjalan masuk dan duduk di bangku tengah bersama sang Umi dan seorang gadis tak kalah cantik dari Hasya, yang sering di sebut-sebut Mbak oleh gadis itu.
Lalu kedua adik lelakinya duduk di bangku paling belakang. Tak menunggu waktu lama, kang santri yang berada di balik stir kemudi segera menginjak pedal gas dan membawa kuda besi itu melesat membelah ramainya jalanan kota Banten di malam hari.
Di sepanjang perjalanan, sekeluarga itu banyak berbicara dan berceloteh ria. Membuat keadaan di perjalanan saat sangat menyenangkan. Namun kini, lebih tepatnya setelah dua jam lebih perjalanan, di dalam kuda besi yang masih melaju, seketika senyap.
Hening.
Tidak ada lagi yang berucap untuk sekedar bercerita, semua manusia di sana fokus pada dirinya masing-masing. Seperti sang Abi yang memilih untuk mengajak ngobrol kang santri di balik stir kemudi, dan Umi serta seorang gadis yang Hasya panggil dengan sebutan Mbak yang terlihat memejamkan mata. Lalu, kedua lelaki di bangku belakang sana terlihat sibuk bermain game pada gedgetnya masing-masing.

KAMU SEDANG MEMBACA
U S T A D Z I'm here!
Teen Fiction®True story® "Sampai kapan kamu akan menundukkan kepalamu, Hasya? Lihat saya sebentar, saya tahu saya salah. Tapi tolong jangan seperti ini." Hasya bergeming, tetap setia dengan posisinya, gadis itu tetap enggan mengangkat kepalanya meski hanya seb...