Malam telah berlalu, pagi baru mulai menyingsing. Cahaya kemerahan nampak di langit sebelah timur, memancar terang secara horizontal, tanda matahari kan terbit. Semilir udara dingin sisa malam yang panjang masih terasa. Sebelum matahari benar-benar menerangi negeri Arman sudah bangun, dia bangun pagi-pagi buta untuk menyiapkan sarapan pagi.
Dimulai dengan mencuci peralatan memasak sisa kemarin. Dilanjut dengan membersihkan beras lalu menaruhnya dalam sebuah dandang. Lalu menyiapkan lauk yang akan dimakan nanti. Untuk mempersiapkan itu semua butuh waktu sampai matahari telah terbit sepenuhnya. Saat matahari telah terbit dia mulai menyalakan api dan menunggu sampai matang.
Seperti biasa sambil menunggu beras menjadi nasi, Arman berlatih pedang dengan Gaiman. Karena tadi malam, Gaiman menginap di rumah Arman, latihan pedang bisa dimulai sedikit lebih awal dari biasanya.
Rangga sepertinya sedikit tertarik dengan kemampuan Arman, dirinya penasaran bagaimana kemampuan berpedang Arman. Karena itu dia memutuskan untuk melihat Arman dan Gaiman berlatih pedang.
"Rangga kau sudah sehat ?" sapa Gaiman.
"Ya aku sedikit lebih baik dari kemarin." sahut Rangga.
"Kau istirahat saja dikamar." Gaiman menyarankan Rangga agar tetap istirahat. "Jangan memaksakan diri."
"Tidak apa . . . . aku ingin melihat kalian." balas Rangga "aku bosan hanya diam saja dikamar."
"Yah baiklah kalau itu yang kau mau." Gaiman tidak ingin memaksa Rangga untuk terus dikamar.
Kini pandangan Gaiman beralih kepada Arman. Arman serta Gaiman melakukan pemanasan ringan sebelum keduanya akan bertanding pedang, sementara Rangga yang hanya melihat keduanya akan berlatih.
Arman Gaiman saling memandang satu sama lain, dengan posisi tangan memegang pedang dan siap menyerang. Arman menghela nafas sebentar, tiba-tiba dia meluncur kearah Gaiman sambil mengibaskan pedang secara diagonal. Namun Gaiman dapat membaca serangan Arman. Secara cepat Gaiman mengarahkan pedangnya secara diagonal namun berlawanan dengan pedang Arman. Kedua pedang mereka bertemu dan terdengar bunyi benturan besi tajam sedikit nyaring.
Serangan pertama gagal Arman menyerang lagi dari sisi yang berbeda, namun masih mudah dihalau Sang Mantan Jenderal itu. Arman terus menerus menyerang Gaiman. Meski Gaiman bisa menangkis serangan Arman dia sedikt terdesak, dia mundur sedikit demi sedikit. Namun karena Arman terus menerus menyerang pertahanannya menjadi lebar. Gaiman yang awalnya terdesak tanpa terduga melancarkan serangan, reflek Arman langsung meloncat mundur.
"Kemampuanmu sudah lebih baik daripada saat kita bertarung pertama kali Arman." sanjung Gaiman.
"Terima kasih pujiannya, tapi kemampuanku jauh dibawahmu, " sahut Arman
"Yah . . aku mantan Jenderal tahu, seharusnya kau sudah tahu itu." Gaiman sedikit sombong atas jabatan yang pernah ia duduki. "kau masih muda dan kemampuanmu cukup hebat untuk seorang penduduk desa."
Rangga terkejut pada kemampuan berpedang Arman. Dia bisa membuat Jenderal mundur, dan mendesaknya, gumamnya dalam hati. Bahkan aku saja tak mampu meberikan perlawanan yang cukup berarti. Arman . . . kalau tidak salah aku pernah mendengar nama itu di Ibukota, tapi bagaimana bisa kau lupa. Siapa orang ini sebenarnya.
Arman sendiri masih mencoba menyerang Gaiman. Wajahnya menunjukkan ekspresi percaya diri, kali ini dia yakin bisa mengalahkan Arman. Arman mencoba mengubah gaya berpedangnya, bila tadi dia menggunakan gaya tebasan, kini dia mencoba gaya sotokan. Kaki kirinya ia hentakan ke depan, lalu mengarahkan pedang ke depan dimana lawan beradadengan dua tangan dan badan menyaming. "Kau merubah gaya berpedangmu."
Anggukan, hanya itulah balasan Arman. Jarak keduanya hanya sekitar 1 tombak, hanya cukup satu langkah kedua pedang bisa saling beradu. Arman mencoba mengatur nafasnya sebelum menyerang, sedangkan Gaiman hanya memegang pedang dengan 1 tangannya dan merasa yakin bisa menghadang serangan yang menghampirinya.
Kaki kanan Arman, maju cepat selangkah. Bersamaan bergeraknya kaki kanan, Arman meluruskan tangan kanan yang memegang pedang kedepan mencoba menusuk Gaiman. Spontan Gaiman memutar pedang ke kiri, merubah arah serangan dari depannya. Karena gerakan Gaiman itu pertahanan Arman terbuka lebar, tetapi tak disangka Gaiman sedikit lengah. Tepat didepan dadanya tendangan meluncur dari kaki kiri Arman. Membuatnya harus melompat mundur untuk menghindarinya.
"Tak kusangka serangan mendadakmu itu." puji Gaiman."Kau sudah berkembang pesat sejak kita bertemu pertaman kali. Mungkin suatu hari kau bisa mengalahkanku."
"Terima kasih atas sanjunganmu itu." Balas Arman dengan nafas sedikit terengah dan senyum diwajahnya.
"Baiklah aku juga akan menunjukkan kekuatanku yang sebenarnya." ujar Gaiman. Tiba-tiba wajahnya menjadi lebih serius. Dia melesat kearah Arman, menyerang dengan tebasan. Arman berhasil menangkisnya namun tangannya terasa berat. Gaiman menyerang bertubi-tubi, Arman bersusah payah menahan serangan Gaiman dan melangkah ke belakang. Giaman tak member Arman kesempatan. Remaja desa Daruan itu hanya bisa bertahan. Selang waktu Gaiman terus menyerang pertahanannya terbuka, Arman mencoba mencoba menyerang Gaiman dengan mengarahkan ujung pedangnya. Tetapi itu hanya strategi Gaiman, dia sengaja member celah pada pertahanannya agar Arman menyerang. Gaiman segera menunduk terhadap serangan Arman yang menyerang daerah atas tubuhnya.
Sekarang Arman pertahanannya sangat terbuka lebar, saat Gaiman masih menunduk dia langsung megibaskan pedangnya pada pedang Arman membuat pedang Arman terlempar jauh. Lalu Gaiman langsung menodong pedangnya pada leher Arman. "Aku kalah" ucap Arman.
"Pertarungan yang cukup menarik . . ." Rangga memberikan pujian pada kedua orang yang bertarung pedang. "Baru dua kali aku melihat Gaiman bertarung serius seperti tadi. Kau juga Arman untuk orang desa kemampuanmu lebih hebat dari prajurit negara." Mungkin dia bukan orang desa biasa, batinnya dalam hati.
"Yah terima kasih . . . atas pujian . . mu itu." balas Arman yang nafasnya terengah-engah.
"Arman. . .izinkan aku bertarung denganmu . . aku ingin tahu kehebatanmu." Rangga meminta bertarung melawan Arman. Sebagai orang yang pernah menjadi tangan kanan Gaiman, Rangga merasa sedikit terhina kemampuannya dibawah penduduk desa biasa. Sebagai seorang bangsawan Rangga memiliki sifat merendahkan orang lain.
Namun bukan Arman yang menjawab, melainkan Gaiman. "Tidak usah Rangga, kau terluka."
"Meski aku terluka ini bukan masalah bagiku." bantah Rangga.
"Tidak perlu, kita sudah tahu hasilnya." Gaiman masih menolak.
"Kita tak tahu kalau belum mencoba." Rangga masih mencoba meyakinkan Gaiman, bila dirinya bisa mengalahkan Arman.
"Aku sudah tahu kemampuanmu dan Arman. Menurutku Arman lebih hebat darimu." Gaiman masih mencoba agar Rangga tidak berduel pedang dengan Arman. "Kau tahu pimpinan musuh dalam perang yang lalu. Kau gagal memebunuhnya, dan kau tahu siapa yang membunuhnya. Arman sang pedang gunung. Kau tak akan bisa mengalahkan sang pedang gunung.
"Arman sang pedang gunung . . . "Rangga terkejut mendengar julukan pedang gunung. Sekerang dirinya ingat dalam perang 3 minggu lalu pimpinan musuh berhasil dikalahkan oleh pasukan garis belakang. Dan pasukan garis belakang hanyalah pasukan sukarelawan dari berbagai desa dan kota territorial negara Astina.
"Jadi kau pembunuh pasukan musuh itu. . . "Kini pandangan Rangga menuju Arman
Arman hanya membalas dengan anggukan.
"Maafkan aku kalau tidak sopan pada anda Arman." Rangga mulai merasa hormat kepada Arman. Dia telah menyelamatkan Rangga, juga orang yang telah mengalahkan pimpinan musuh, serta membuat Gaiman mengakui dirinya. Sejak tahu identitas itu, Rangga bersikap hormat dan sopan kepada Arman.

KAMU SEDANG MEMBACA
Babad Tanah Arthara
FantasyDi sebuah desa pada lereng gunung Saramu, Arman hidup tenang dan damai. Meski negaranya memiliki konflik dengan negara lain desanya masih tetap damai. Namun kehidupannya berubah setelah kedatangan pria misterius yang terluka dan pingsan di rumahnya...