Bab 3. Salah Paham

19 3 0
                                    

Sekiranya Tuhan sudah berbaik hati padaku dengan memberikan kesempatan untuk dapat bertemu kembali dengan Damar. Airinlah yang mengatur pertemuan untuk kami. Tapi sekali lagi aku menyia-nyiakannya.

Rasa sesal kembali menyelimuti hatiku. Penyesalan, hanya itu yang tersisa dan entah apakah masih ada kesempatan lain di kemudian hari.

Aku berharap kamu bisa memaafkan aku, Damar. Tapi nyatanya untuk mendapatkan kata maaf darimu tidaklah mudah. Sejak hari itu kamu menghindar.

Damar, harus dengan cara apa aku meminta maaf padamu, jika bicara denganku saja kamu tidak mau. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk menuliskan permintaan maafku melalui surat.

"Done."

Selesai juga surat yang akan aku berikan padamu, Dam. Sekarang tinggal mengumpulkan nyali untuk menyampaikan surat tersebut.

Keesokan harinya kubulatkan tekad untuk menemuimu sepulang sekolah. Sekuat hati aku menyingkirkan rasa malu serta takut untuk berhadapan denganmu.

Benar saja, setelah waktu menjelang sore kamu muncul juga di gerbang sekolahmu. Manik mata kita bersitatap, sedetik tapi cukup menguras nyali yang aku bangun dari semalam.

Kamu berlalu begitu saja dari hadapanku tanpa senyum apalagi sapa.

"Damar, tunggu!"

Kuberanikan diri memanggil dan berlari kecil menyusul langkahmu. Kemudian kuambil sepucuk surat yang tersimpan di dalam tas.

Kamu berhenti. Tanpa sedikit pun bersuara, lalu menatapku yang telah berhasil menyusulmu.

"Dan, a-aku... aku mau minta maaf," ucapku terbata-bata.

"Udah?" Hanya kata itu yang keluar dari bibirmu. Dingin. Lalu kamu berbalik hendak meninggalkanku.

"Dam! Tunggu!" panggilku. Tanpa menoleh, kamu hentikan langkah. Kuberanikan diri untuk mendekatimu, lalu kuulurkan sepucuk surat bersampul pink.

"Ini apa?" tanyamu .

"Kamu baca aja. Dan nanti kamu akan ngerti kenapa waktu itu aku nggak bisa datang tepat waktu."

"Terima yah," pintaku lirih.

Tanpa ekspresi kamu mengambil surat itu, lalu tanpa berkata-kata lagi berbalik meninggalkanku.

Yang bisa kulakukan hanya memandangimu sampai netra ini tak lagi menangkap sosokmu.

Semoga kamu mau membacanya, Dam. Dengan begitu kamu pun akan mengetahui alasanku datang terlambat menemuimu hari itu.

Sekeping hati yang dirundung penyesalan,

-Viona

Viona's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang