Kedua Kalinya

70 4 2
                                        

Jam pelajaran pertama sudah usai. Diza sedang membereskan buku buku pelajaran sebelum memutuskan untuk keluar makan siang. Biasanya ia makan siang di Taman belakang sekolah dengan bekal yang sudah dibuatkan Bi Ina dari rumah. Kenapa ia memilih Taman belakang, karena ia tahu bahwa satu satunya tempat tersepi di sekolah selain Gudang ya hanya di Taman belakang. Ia selalu menghabiskan waktu istrahatnya di sana. Rutinitas sehabis makan siang adalah menulis apa yang dialaminya pagi tadi sampai sesaat sebelum ia menulis. Tapi yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, buku hariannya tak tahu entah kemana.

"Aduh buku aku kemana?" tanya Diza kepada diri sendiri saat menggeleda tas dan mejanya.

"Kok nggak ada sih?"

"Diz, kamu cari apa?" tanya Lia teman sebangkunya.

"Buku. Kamu lihat nggak?" jawabnya tanpa menoleh ke arah Lia.

"Buku apa?"

"Buku yang sering aku bawa bawa. Kamu lihat nggak?"

Lia menggeleng. "Aku nggak lihat kamu pegang buku itu dari tadi pagi,"

"Aduh di mana yah?" tanya Diza lagi sambal mengotak atik dan mengeluarkan semua isi tasnya. Ia tak tahu lagi harus bagaimana jika buku harian itu hilang. Semua memori dan kenangan perjalanan hidupnya ada di dalam buku itu.

***

"Hari Ini, Hari Baik"

Hari ini, matahari terik

Bersembunyi di balik hijau daun yang terapik

Suara kicauan burung kian berisik

Tanpa mengerti situasi yang terganggu bisik

Hari ini, hari baik

Meski orang orang kian merapik

Tak apa, akan tetap baik

Selagi hidup selalu berbudi baik

Salah satu penggalan puisi yang dibaca oleh Bagas dalam buku gadis yang ia temui di Halte tadi pagi. Masih banyak sekali tulisan berupa puisi yang menggambarkan perjalanan atau peristiwa yang pernah dilalui oleh pemiliknya.

"Namanya Diza?" tanya Bagas dalam hati setelajh kembali membaca sampul pada buku itu. Ia mengingat wajah gadis yang ia temui pagi tadi sangat lucu. Dengan wajah yang ketakutan itu membuat Bagas tertawa geli. Menurutnya hal itu sangat lucu. Gadis itu tak seperti dengan gadis lainnya. Ia berbeda. Tak gampang akrab dengan orang. Dan memiliki keterampilan yang tak semua orang punya, yaitu menulis.

Akan tetapi, seketika Bagas tersadar saat mengingat seragam yang digunakan oleh gadis itu. Seragam yang sama dengan yang ia kenakan. Ya, ia tidak mungkin salah. Gadis itu menggunakan seragam SMA Cendekia sama sepertinya.

"Kenapa baru kepikiran sekarang?" rutuknya dalam hati.

Menyadari hal itu, Bagas langsung bergegas keluar kelas dengan membawa buku harian milik gadis itu.

***

"Kamu cari ini?"

Terlihat buku harian Diza berada di depannya.

"Iya aku memang cari buku ini," katanya dengan girang.

Ia lalu mengambil buku itu dari meja lalu memeluknya. Ia berjanji tak akan menghilangkannya lagi.

"Kamu menjatuhkannya di Halte tadi pagi," ucap Bagas.

Diza baru tersadar bahwa ada orang yang berada di dalam kelas selain dirinya dan Lia. ia menatap ke arah sumber suara itu. Dan ternyata yang ada di depannya adalah lelaki yang ia temui di Halte tadi pagi. Dan tak bisa dipungkiri bahwa lelaki ini juga yang menyelamatkan buku hariannya. Apa yang harus dilakukan Diza dengan pertemuan kedua kalinya dengan lelaki yang ada di depannya sekarang? Apa sesusah itu mengucap terimakasih kepada orang lain?

"Bagas," ucap Bagas sambal menyodorkan tangan kanannya ke arah Diza dengan niat berkenalan.

Apa yang harus dilakukan Diza sekarang? Apakah ia harus membalas uluran tangan itu? Atau ia memilih meninggalkan lelaki asing di depannya ini? Semesta, bantu Diza berpikir jernih.

"Diz, jawab dong. Bagas udah dari tadi tuh ngajakin kamu kenalan," ucap Liah usai menyenggol bahu kiri Diza.

Diza langsung kaget dengan apa yang baru saja dilakukan oleh Lia kepadanya.

"Hah, Diza," jawab Diza akhirnya sambal membalas uluran tangan dari Bagas.

"Makasih sudah menyelamatkan buku aku," lanjutnya.

"Iya sama sama. Yaudah aku tinggal dulu yah," pamit Bagas.

Diza hanya mengannguk kaku menjawab pamitan dari Baagas.

"Oh iya Diz, puisi kamu bagus. Kamu berbakat buat jadi penulis," teriak Bagas dari ambang pintu sebelum berlalu.

Diza yang kaget mendengar hal itu hanya bisa terdiam kaku di mejanya. Ia tak pernah bepikir bahwa apa yang selama ini ia tulis akan dibaca oleh orang lain apalagi mendapat pujian seperti tadi.

Monolog to MonokromWhere stories live. Discover now