06# Melawan Ibu-Ibu

386K 61.1K 47.4K
                                    

Kupetik bintang untuk kau simpan
Cahayanya tenang berikan kau perlindungan
Sebagai pengingat teman
Juga sbagai jawaban
Semua tantangan

- SHEILA ON 7 -

○○○●●● 》♤♤♤《 ●●●○○○

Setelah disidang habis-habisan oleh Bu Nia, Cetta dan Jaya keluar dari ruang BK dengan langkah gontai. Baron dan genknya masih berada di dalam. Entah apa yang akan dilakukan Bu Nia dengan bocah-bocah itu.

Pelajaran sudah berakhir setengah jam yang lalu, tapi tidak ada satupun di antara mereka yang boleh pulang. Tidak lama setelah Cetta dan Jaya mendaratkan bokong mereka di banon depan ruang BK, tiga orang ibu-ibu dengan tampang ganas menyerobot masuk ke ruang Bu Nia dan marah-marah tidak jelas setelahnya.

Jaya menundukkan kepalanya dalam-dalam. Bocah itu merasa bersalah setelah tanpa sengaja menyeret si cerdas Cetta ke dalam masalahnya. Kalau saja tadi Cetta tidak datang, semuanya tidak akan serunyam ini.

"Nangis lu?"

Cetta merunduk, menilik wajah Jaya yang disembunyikan diantara lengannya rapat-rapat.

"Yang bener aja! Lu cowok masa nangis."

Tapi Jaya tidak menggubris sama sekali. Karena dulu, Bapak pernah bilang begini, "Kalau Jaya pengen nangis, nangis aja. Nangis itu nggak cuma buat perempuan aja. Laki-laki juga berhak nangis, Jaya. Nangis itu racun yang harus kamu buang sampai kamu ngerasa racun itu nggak ada lagi dalam tubuh kamu."

"Jaya! Buseeet beneran nangis lu?" Cetta tertawa terbahak-bahak.

"Lu kenapa malah telpon Bang Sastra sih?!"

"Ya terua gue harus telpon siapa? Mama? Ya nggak mungkin lah! Lu mau malu-maluin emak lu cuma perkara gini doang? Apalagi Kak Ros sama Mas Jovan, jelas nggak mungkin. Bisa dipenggal ditempat kepala kita."

"Mas Nana kan bisa." Jaya menarik napas, lalu tersengal karena sesak sisa menangis barusan.

"Yang ada dia cuma iya-iya doang. Kalau Sastra kan bisa belain kita sampai titik darah penghabisan!"

"Bener juga."

Cetta berdecak. Rasanya dia ingin sekali menempeleng kepala Jaya, tapi dia tidak tega setelah melihat wajah lebam adiknya itu.

"Sakit nggak tuh?" Cetta menunjuk lebam di pipi Jaya dengan telunjuknya.

Jaya mengangguk, kemudian menunduk lagi.

"Udah, nggak usah dipikirin."

"Tapi lu dapet poin gara-gara gue."

"Santai aja sih. Sekali-kali anak paling cerdas di sekolahan ini dapet poin." Cetta tergelak, tapi detik berikutnya langsung meringis karena perih menjalari sudut bibirnya.

Melihat itu, Jaya ikutan meringis. Cetta yang malang..

Hanya berselang beberapa menit dari pembicaraan keduanya, deru motor beat Sastra terdengar berhenti di belakang mereka. Jaya nyaris lupa bagaimana caranya bernapas saat Sastra ternyata tidak datang seorang diri. Cetta juga tidak jauh berbeda, bocah itu langsung memelototi Sastra yang plonga-plongi di belakang Jovan.

"Ya?" Cetta menyenggol perut Jaya dengan siku, "Perasaan ramalan BMKG hari ini nggak bilang kalau mau kiamat."

Jaya tidak menyahut. Bocah itu bahkan sudah tidak tahu bagaimana caranya berpikir dan menjadi manusia. Dalam pikirannya, dia mau berubah jadi umbi-umbian saja.

"Muka kalian kenapa bonyok gitu?" Seperti dugaan kita bersama, Jovan menatap keduanya dengan mata yang nyalang.

Hening. Cetta tidak tahu harus beralasan apa, sementara Jaya-- dia betulan ingin jadi singkong saat ditatap dengan garang oleh Mas Jovan. Keduanya menunduk dalam-dalam, saling menyenggol satu sama lain untuk meminta bantuan. Tapi nihil, otak mereka rasanya kosong mlompong.

Tulisan Sastra✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang