bagian 1

16 0 0
                                    

Di tengah hujan yang deras, seorang kakek berjalan dengan payung yang melindunginya dari hujan. Dia membawa 2 kresek yang berisi bahan makanan di tangan kanan, sedangkan payung di tangan kirinya. Saat itu masih siang menjelang sore, tetapi awan menghalangi matahari untuk menyinari bumi, membuatnya kelabu walaupun matahari belum sampai ke sisi lain bumi.

Sambil memakai sendal jepit, kakek itu menerobos tanah becek itu tanpa peduli kakinya kotor atau tidak. Dalam pikirannya, dia harus pulang ke rumahnya secepatnya sebelum hujan datang lebih parah lagi.

Ketika dia ingin menyebrang di jembatan, dia melihat ada seorang pemuda berumur 5 tahun berpakaian putih yang tak sadarkan diri di pinggir sungai. Kakek itu berjalan di pinggir sungai karena rasa penasarannya. Kakek itu membatin, "Sebenarnya iki anak sopo sih?"

Dia melihat wajah secara intens sebelum dia memutuskan untuk menggendongnya di bahu. Dengan tambahan beban di pundaknya tak membuat jalan si kakek melambat, bahkan malah semakin cepat.

Dengan Jalan terus lalu naik jembatan lagi dan berbelok, akhirnya kakek itu tiba di rumahnya. Dia mencuci kakinya terlebih dahulu sebelum masuk ke rumahnya. Si pemuda lalu dibawa ke kamarnya yang berukuran 3x4 dan melepaskan seluruh bajunya sebelum mengelap seluruh badan pemuda itu. Sehabis itu, dia mencarikan pakaian di lemarinya untuk pemuda itu pakai, tetapi si kakek hanya mendesah, "Sayang sekali, aku tak punya baju dan celana yang cocok dengan ukurannya. Apa pakaikan baju partai saja, ya? Terus celana....Ah, ambil celana Beni saja."

Setelah si kakek mengambil baju kuning dengan logo partai dan celana anak tetangga yang ketinggalan, dia pun menutup lemari dan segera menuju ke pemuda itu. tetapi yang dia temukan tembok asbes yang kosong alias pemuda itu menghilang.

Si kakek melihat sekeliling kamar dan melihat pemuda dengan handuk yang menyelimutinya. Kakek itu mendekat dan berkata, "Kau sudah sadar anak muda? Apakah kau baik-baik saja?"

Kemudian pemuda itu berbalik dan memperlihatkan wajah pucat, entah kedinginan atau memang gennya. Dia pun mengangguk, menandakan kalau dia baik-baik saja.

"Ehm, Bisa kau kasih tahu namamu, le? Dan juga tinggal dimana? Tampaknya kau bukan orang sini."

"Nama? Saya tidak tahu, kek."

"Tidak tahu?"

"Iya, semua yang aku ingat terlalu buram dan tak bisa dilihat. Aku tak bisa mengingatnya."

"Bahkan namamu?"

Kemudian pemuda itu mengangguk lagi. Kakek itu hanya mendesah dan menarik sebuah kesimpulan,

"Anak ini...terkena amnesia. Dia tak bisa mengingat semua identitasnya sendiri. Ah, bagaimana ini?"

"Untuk sementara kau bisa tinggal di sini. Sampai kau bisa mengingat kembali ingatanmu." Kata kakek itu. "Ehm, sebelum itu kita tentukan dulu namamu, biar tidak canggung ketika berbicara...anu..Eh, untuk di depan aku beri nama temanku bernama 'Joko' di depan dan karena kau anak pemuram, kuberi nama 'Wengi' di belakang. Jadi, namamu adalah Joko Wengi. Menurutmu, bagaimana?"

"Tidak buruk..."

"Komentar macam apa itu!? Ya, sudahlah. Nama asliku adalah Trisno Seng Roso dan Joko bisa panggil aku 'Kakek Trisno' atau 'Kakek' saja. Coba panggil aku kakek."

"Kakek.."

"Yah, sekarang kau menjadi cucuku. He he he."

Kemudian si kakek memeluk anak yang diberinama Joko itu dan Joko hanya tidak melakukan apa-apa selain menatap di luar jendela dimana sungai mengalir di belakang rumah itu. Dia sebenarnya mengingat sesuatu yang berhubungan dengan masa lalunya dan gambaran kasar yang dia ingat adalah gelap dan menyeramkan.

Jawara KampungWhere stories live. Discover now