Coba di cek dulu—planet gurita masih nangis apa sudah reda. Soalnya yang diatas ranjang mainnya gak kenal waktu. Gak peduli Rose, gak peduli Mingyu juga. Disini Wendy nikmatin dulu pelukan tangan manusia Bae dari arah belakang.
Jendela keliatan berembun, sama kaya matanya yang tiba-tiba berembun karena nangis diam-diam. Irene kecup tulang lehernya itu halus, Wendy beralih usap kasar wajahnya biar Irene gak curiga.
“Dingin? Kok kamu gak pake baju?” iseng, Irene terkekeh sama ucapannya sendiri.
Wendy jadi inget Mingyu lagi, tadi Irene gak jago kissing alias masih cupu. Jelas beda sama Mingyu yang fasih betul kalau main diatas ranjang.
“Aku pergi tidur boleh?” tanya Wendy masih liatin jendela. Kerasa dari belakang pelukan Irene mengerat, bahkan tengkuknya kena cium bertubi-tubi.
Disini mereka polosan, cari hangat didalam selimut. Irene wajahnya idiot karena inget tadi gimana gelisahnya kaki Wendy yang gak bisa diem waktu dia kasih rangsangan.
“Aku angetin dari belakang, kamu tidur aja gapapa.” tok, Wendy gak bales apapun lagi.
Nona Son meringkuk, berasa makin kecil kalau di kungkung Irene protective. Ya gimana ya? Dia memang inget suaminya, tapi dia juga gak bisa bohong—kalau sama Irene sekarang bisa lepasin beban. Apalagi usapan naik turun tangan Irene diperut, di pinggul, turun ke paha terus naik lagi nyasar kebelakang punggung. Rasanya apa yang Mingyu lakuin dulu-dulu itu bisa Irene hapus.
Mata Wendy terpejam, gak bener-bener tidur. Cuma istirahatin pikiran biar bola matanya gak berkedut nyeri lagi.
Irene bergumam, nanyain apa dia sudah tidur? Wendy bales pake suara lemah, katanya ya belum.
“Coba sini madep aku, biar aku bisa liat wajah kamu.” pinta Irene dan Wendy nurut.
Wendy ganti posisi jadi balik badan, ini mereka beneran polos—Wajah putih pucat Wendy sedikit merah, kata hati Irene mungkin kesayangannya malu kali. Idiw.
Manusia Bae kasih Wendy senyum kasmaran, mata mereka saling ngunci, Irene sedikit bangun dan cium bibir Wendynya itu halus, gak nuntut dan gak minta balasan. Dia endus pipi lucu Wendy sedikit dalam.
“Inget gak waktu pertama kali kita ketemu di klinik? Aku langsung sebut kamu itu milik aku.” kata Irene yang sekarang posisinya jadi telengkup, siku dia jadi alat tahan tubuh.
“Bisa gitu ya? Kok lucu.” jari Wendy usap leher Irene yang sekarang ada satu noda merah yang enggak begitu jelas.
Irene terkekeh dulu, lalu dia pegang jari Wendynya buat dia kecup kecil beberapa kali. “Gak seberapa lucu waktu aku liat kamu yang serius periksa mami.”
“Kenapa cuma memperhatikan? Ada mulut kan? Ngomong bisa?”
“Malu. Kamu diemnya lama, ngobrol panjang cuma sama mami. Cemburu nih.” lalu kepala Irene di geplak halus. Mereka terkekeh bareng.
“Oh iya, tadi siang aku lihat Rose dijalan. Dia ngapain ya?” tanya Irene lagi.
“Kalau rame-rame sama temen dokternya berarti dia lagi penyuluhan ke masyarakat,”
“Dia sendirian. Makanya aku ajak pulang bareng.”
“Berarti dia habis ketemuan sama Jennie.” jawab Wendy seolah dia tau betul Rose dan kesehariannya.
Ngobrol kecil ditemani suara jam dinding yang lebih kedengeran romantis, Irene mengerang karena ponselnya nyala terus. Ya siapa lagi kalau bukan Seohyun.
“Duh, nih orang pengen kugetok aja palanya.” rutuk Irene terus reject panggilan dari Seohyun gitu aja. Wendy cuma liatin gak pake suara.
Irene balik lagi ke posisi semula—rasanya rugi kalau jauh-jauh sama kesayangan. Bahkan dia masih bisa huhahehe gak tau diri, leher Wendynya lebih kotor. Ya kotor maksudnya banyak noda cupangan.
“Ngilu gak sih?” tanya Irene ambigu, Wendy naikin alisnya tanda gak ngerti.
“Ngilu apanya? Tulangku ngilu semua,”
“Ya nanti aku beliin tabung infus baru, yang warna pink itu buat apa??” jari Irene nunjuk salah satu tabung infusan Wendy.
“Kata Rose itu buat vitamin.”
Irene berdehem panjang, dia balik tatap Wendy lagi—sekarang lebih intens, Wendynya cuma kasih dia senyum tipis.
“Aku cinta kamu. Sekarang aku pulang ya, hati-hati lehermu diliat Rose.”
Sebagai sentuhan akhir, Irene dongakin wajah Wendy keatas lalu dia hisap kuat kulit leher Wendynya sampai yang dihisap melenguh heboh. Akhirnya kena tamplak sendiri, Irene mengaduh tapi ujungnya ketawa.
“Kok kepalaku dipukul??” katanya sok pasang wajah sedih. Wendy liatnya geli, ya tapi tetep cakep.
;
Sekarang boleh pamer ke Mingyu? Mumpung orangnya ada, Irene belum ngoceh apapun—dia duduk kalem sambil mainin miniatur patung kucing yang selalu ada di ujung meja Mingyu. Katanya sebagai pemanis dan hoki-hokian.
“Itu tangan kucingnya jangan kamu puterin gitu, nanti lepas.”
“Nih puter-puter, puterin lah puterin.” bales Irene malah tambah sengaja nantang.
Mingyu mekik panik, kesian tangan kucingnya muter-muter. Padahal itu hadiah dari Serenya waktu dulu, Mingyu gak inget—yang jelas miniatur itu dari Sere pas mereka masih pacaran.
“Jangan gitu Bae, Sere marah kalau hadiahnya dirusakin. Lepasin!”
Irene lempar kedepan tepat di dada Mingyu yang lebar. Katanya lagi seneng, tapi kelakuannya gak nampakin kalau manusia Bae ini lagi seneng, Mingyu heran sendiri.
“Kesel loo, padahal masih pengen berduaan. Tapi gimana ya? Gak enak aku sama adeknya. Huu payah.”
“Sogok aja pake chatime boba, gak bakal nolak lah pasti. Yakin.” saran Mingyu.
“Haha, sukur kalau dapet izin buat tidur berdua lagi mah. Duh, dia putih banget Gyu. Rusak nih otakku.”
Mingyu angkat bahunya itu keatas tanda gak mau tau lagi, rasanya kuping dia mendadak pengang semenjak Irene masuk kesini lalu mulai cerita dari sini kesana. Mungkin Mingyu iri, karena sampe sekarang dia masih belum tau Serenya ada dimana.
“Terus? Langkah kamu selanjutnya apa Bae?” tanya Mingyu.
“Aku lamar aja kali ya, takut ada yang ngambil dan lepas gitu aja.”
“Ide bagus sih, nanti kasih tau aku kalau sudah mateng planningmu. Aku tetep dukung kok gimanapun kondisinya.”
YOU ARE READING
Insecure (WenRene) | Completed ✔️
Fanfiction"Don't let fear or insecurity stop you from trying new things. Believe in yourself. Do what you love. And most importantly, be kind to others, even if you don't like them." - Stacy London
