Karena Apa?

Mulai dari awal
                                    

Aurel tertawa kecil, "jelas bedalah. Dia gak putih, pendek kecil macam anak-anak. Kutu buku, kuno. Sok pinter lagi."

Bu Aisyah langsung memalingkan pandangannya ke arah Aurel.

"Apa hanya karena fisik? Kamu yakin hanya karena itu? Bukannya karena kamu iri dengannya? Karena Syafiqa selalu mendapat beasiswa dan peringkat satu di kelas sedangkan kamu selalu di posisi kedua? Begitu?" Cerocos Bu Aisyah menantang.

Aurel menatap tajam ke arah Bu Aisyah, ia mengepalkan tangan kanannya kencang. Lalu ia bangkit dari duduknya, "saya dengar ibu juga dulu pernah menjadi korban body shaming karena gendut? Apa ibu menjadi guru BK untuk membalas dendam? Begitu?"

Bu Aisyah menatap Aurel terkejut. Ia berjalan menghampiri Aurel dan mengangkat sebelah tangannya dan bersiap menampar Aurel. Namun, tertahan karena pak Rasyid memegang pergelangan tangan Aisyah kuat-kuat.

Aisyah menatap Rasyid dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca dan mulut yang bergetar.

"Aurel, Alivia, Putri. Kalian keluar sekarang," perintah pak Rasyid.

Ketiga siswi itu pun akhirnya keluar ruangan sambil melempar pandangan tajam ke arah Bu Aisyah.

"Lepas," ucap Bu Aisyah. Pak Rasyid masih menggenggam pergelangan tangan Aisyah dan menatapnya.

"Bisa tenang?"

Aisyah menarik napas panjang, Rasyid mengerti, ia lalu melepaskan genggamannya.

"Ibu tahu apa yang ibu lakukan barusan? Ibu sadar?" Tanya Rasyid sambil duduk di hadapan Aisyah yang memegang kepalanya frustasi.

"Apa benar yang dikatakan Aurel barusan?"

Aisyah mendongak, menatap kedua manik mata Rasyid lalu menangis.

"Baik, saya mengerti. Tak apa, saya paham," ujar Rasyid sambil mengangguk.

"Tapi, saya tak bermaksud balas dendam. Saya hanya ingin membuat sekolah lebih damai. Dan menyadarkan anak-anak seperti Aurel. Saya ingin kita semua saling mencintai. Tidak ada kasus seperti ini. Saya membayangkan betapa menyakitkannya. Apa yang dirasakan Syafiqa. Karena saya pun pernah merasakannya," cerita Bu Aisyah lalu menghapus air matanya sendiri.

Rasyid mengangguk mengerti.

"Masa sekolah adalah masa dimana anak-anak tidak hanya perlu belajar, tetapi, mereka pun perlu untuk berteman. Membangun banyak relasi dengan orang-orang dan lingkungan sekitar. Coba bapak bayangkan. Bagaimana bisa anak seperti Syafiqa yang rasa percaya dirinya telah hancur bisa berteman? Dan, bagaimana bisa anak seperti Aurel melakukan kesalahan tanpa ada pihak yang mau menegurnya? Kebiasaan yang salah, apakah harus terus diwarisi? Saya tidak akan menyerah. Saya akan membuat Syafiqa kembali percaya diri, dan membuat Aurel belajar dari kesalahannya, agar tumbuh menjadi pribadi yang lebih dewasa," sambung Bu Aisyah.

Rasyid terdiam menatap Aisyah yang memandang ke arah lantai ruangan dengan tatapan sendu.

"Guru yang baik dan benar-benar mendengarkan serta membimbing anak didik itu ternyata masih ada, ya?"

Aisyah menatap Rasyid heran, "maksud bapak?"

Rasyid tersenyum manis, lalu, "bisa tolong ajari saya? Bagaimana caranya menjadi guru yang baik, dan … tulus?"

"Saya?"

Rasyid mengangguk sambil mengacungkan kedua jempol nya.

"Ibu dulu lulusan universitas mana?"

"Saya lulusan salah satu universitas negeri di Bandung. Program studi bimbingan dan konseling, psikologi perkembangan anak dan remaja."

Rasyid menganggukkan kepalanya.

"Terus terang, selama ini saya mengajar karena memang untuk memenuhi kebutuhan. Saya guru yang tidak baik. Saya hanya peduli pada uang dan pencapaian. Yang terpenting, jadikan anak itu masuk PTN dan semua selesai. Saya tak peduli perihal pendidikan, psikologis anak, apalagi soal mendengarkan anak. Saya tak peduli. Lagipula, orangtua mereka hanya ingin mendengar anak mereka masuk PTN. Dengan begitu, status sosial mereka terselamatkan. Saya sering melihat, kedua orangtua yang marah-marah hingga menangis seperti orang gila ketika anaknya tidak lulus PTN. Atau orangtua yang mengamuk karena anaknya memilih menjalani apa yang mereka pilih dan inginkan. Seolah tidak lulus PTN dapat mencoreng nama keluarga. Apalagi bagi mereka yang bersikeras anaknya masuk fakultas kedokteran. Mereka jauh lebih gila. Ibu tidak tahu seberapa tertekannya saya? Atas tuntutan yang beragam. Dan betapa tertekannya saya, karena, karena," cerocos Pak Rasyid panjang lebar.

"Karena apa, pak?"

Rasyid melihat wajah Aisyah sambil menelan ludahnya sendiri. Ia langsung bangkit dari duduknya.

"Maaf, sepertinya saya banyak bicara. Sebentar lagi jam pelajaran saya dimulai. Saya permisi," Rasyid berjalan keluar ruangan dan meninggalkan sejuta pertanyaan bagi Aisyah.

Karena?
Karena apa?
Aisyah benar-benar penasaran.





📚 Bersambung📚

SEKOLAH 2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang