18 September.
Bapak dan bunda berjalan di depan, jelalatan pada seisi gedung kampusku, universitas yang mulai minggu depan jadi tempatku menimba ilmu lanjutan pasca lulus dari SMA. Aku tidak berminat pada campus tour, tapi bunda berkeras ingin tahu bagaimana kampus ini. Setelah gagal jadi pemakai jaket kuning, bunda tergesa mencarikan universitas swasta terbaik untukku. Mengaku ke bapak, walau aku kuliah di universitas swasta, aku harus jadi lulusan yang sama kualitasnya dengan mereka yang berlabel sarjana negeri. Padahal aku enggak ngebet banget punya status mahasiswa.
"Kalo di sini, Bunda percaya kualitasnya. Anak Bu Wati kuliah di sini, sekarang jadi manajer," kata Bunda, seolah sedang meyakinkan aku dan bapak.
Bapak hanya bergumam, "Ya." Kemudian dia naik tangga. Bunda menjaga posisinya tetap di sebelah bapak dan terus mengoceh mengenai keunggulan lain tempat ini yang diperoleh dari hasil berburu gosip di arisan, pengajian, dan kondangan. Bunda benar-benar ciamik, mengalahkan kemampuan Mbah Gugel yang aku obok-obok setelah Bunda mengusulkan universitas ini.
"Lulusan bisnis di sini biasa ditarik buat kerja bareng alumni. Kata Bu Sari, banyak anak pengusaha kuliah di sini. Namanya anak pengusaha, gitu selesai kuliah mana mau kerja sama orang. Mereka buka usaha sendiri dari modal orang tua mereka, terus ngajak juniornya kerja bareng mereka. Bagus kan, koneksi antar mahasiswa dan alumninya. Belum lagi ...."
Aku menguap. Sumpah, bunda seharusnya yang kuliah di sini. Dia yang tampak lebih bersemangat dari aku.
"Yel, kamu harus kuliah yang benar." Bunda menatapku tajam.
Aku memasang badan tegak dan mengangguk patuh. Apa pun keinginan bunda, iyain aja yang penting selesai. Urusan dikerjakan atau enggak, biarkan Tuhan dan semesta yang menentukan nasibku di masa depan.
"Tapi kampusnya jauh sekali dari rumah." Bapak buka suara setelah merespons ya dan hm doang.
"Enggak jauh, kok. Ini masih Jakarta Selatan. Rumah kita ke sini dekat kalau naik kereta. Lagian, susah cari kampus bagus begini," sanggah bunda.
Bapak melirikku prihatin. Sepertinya hanya bunda yang berpikir Sentul ke Senayan itu jaraknya seperti dari Pasar Ciawi ke Cimory Riverside di saat enggak ada acara buka-tutup jalan. Ada jarak 47 KM terbentang antara rumah kami dan kampus ini loh. Asli, bunda saja yang sanggup berpikir positif di sini.
"Pak," bunda menoel siku bapak, "anak Bu Wati benar."
"Apanya?" Bapak menghentikan langkah dan mengamati bunda keheranan. Aku pun ikutan pasang telinga.
"Banyak mahasiswa dan mahasiswi cakep di sini. Tuh lihat. Putih-putih banget," bisik bunda antusias.
Aku dan bapak saling lirik, lalu mengalihkan pandangan ke arah yang menarik perhatian bunda. Ada sepasang muda-mudi berjalan bergandengan melintas berlawanan arah. Si pemuda tersenyum saat berpapasan dan ceweknya sibuk main hape. Aroma semriwing dari parfum mereka terhirup, detik itu juga aku tahu, mereka bukan ligaku.
"Duh, ceweknya manis banget." Bunda berbinar-binar memandangi pasangan yang menghilang di balik tikungan koridor, bertingkah seperti remaja yang baru bertemu Jungkook di pasar. "Coba penampilan kamu dirapikan sedikit. Bunda capek lihat gaya kamu urakan banget. Tadi sisiran, enggak?"
Aku spontan menyentuh rambut dan mengingat kehebohan tadi pagi. Kemudian menggeleng lemah. Aku rasa aku bukan lupa nyisir tadi pagi. Aku bahkan lupa minggu ini sempat menyentuhkan sisir ke rambutku atau tidak.
Bunda mendengkus, tingkah khasnya tiap lelah menghadapiku. Bapak hanya tersenyum, lagi-lagi memaklumi aku. Aku pikir, cewek dan sisir atau cewek dan cermin itu bukan rumus penting dalam hidup.
Tanpa diduga, pendapatku jungkir balik di semester depan. Aku 'terpaksa' bertemankan sisir dan cermin.
KAMU SEDANG MEMBACA
TWIRLING
General FictionYellow, seorang mahasiswi tahun pertama berpenampilan berantakan tiba-tiba saja diajak menjalin hubungan palsu oleh senior paling terkenal di kampus, tetapi juga paling dia hindari. Di saat menjalin hubungan palsu itu, tak disangka Yellow mulai mena...
Wattpad Original
Ada 18 bab gratis lagi