3

48 0 0
                                    

Pada suatu hari, kembali terjadi perang takhta di dalam tubuh Kesultanan Mataram. Hal tersebut membuat Pangeran Mangkubumi minggat dari istana.

Pangeran Mangkubumi lantas menuju ke barat dan kembali kepada wilayah semula dimana dahulu buyut-buyutnya hidup –Alas Mentoak. Dan di kemudian hari tempat tersebut dijuluki dengan nama Ngayogyakarta.

Pangeran Mangkubumi menggerakkan pemberontakkan besar-besaran kepada Kesultanan Mataram. Hingga tercetuslah sebuah perjanjian untuk mengakhiri pemberontakkan tersebut. Perjanjian itu disebut dengan Perjanian Giyanti (1755) –dinamakan Giyanti karena perjanjian tersebut dilakukan di sebuah Desa yang bernama Giyanti.

Perjanjian Giyanti dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi dengan Paku Buwono III dan juga VOC. Isi dari perjanjian tersebut adalah pembagian kekuasaan Mataram menjadi dua yakni menjadi Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta. Maka secara de facto de yure, Mataram Islam telah berakhir.

Kesunanan Surakarta dipimpin oleh Paku Buwono III. Dan Kesultanan Ngayogyakarta dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi –kemudian Pangeran Mangkubumi dijuluki sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono I.

Berdirilah sebuah monarki yang di kemudian hari mewarisi sejarah dari sebuah peradaban bernama Mataram Islam. Monarki tersebut adalah Surakarta dan Ngayogyakarta.

Sang waktu memang tak bisa diulang, namun sejarah bisa terulang. Runtuhnya kerajaan-kerajaan di masa lampau mulai dari Mataram Hindu hingga Majapahit kini dirasakan oleh Kesultanan Mataram. Sehebat-hebatnya seorang raja atau seluas-luasnya wilayah kekuasaan, semuanya tak ada yang bisa melawan sang waktu dan apa yang dibawanya. Sang waktu telah membawa sejarah kepada para manusia.

Ada sebuah tradisi yang telah dilakukan sejak era Paku Buwono II, yakni memberikan gelar kepangeranan kepada seorang patih atau tangan kanan raja. Dan hal tersebut di kemudian hari menjadikan sebuah perpecahan di tubuh Kesultanan Ngayogyakarta.

Berdiri sebuah kekuasaan di dalam tubuh Kesultanan Ngayogyakarta yang bernama Kadipaten Paku Alaman. Kadipaten tersebut dipimpin oleh anak dari Sri Sultan Hamengkubuwono I. Kemudian anak tersebut bergelar Paku Alam I.

Sedangkan di Kasunanan Surakarta juga telah lebih dulu berdiri Kadipaten Mangkunagaran yang dipimpin oleh Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa yang bergelar Mangkunegara I.

Kisah pun berlanjut sejalan dengan berputarnya roda sang waktu. Paku Buwono III, disusul Sri Sultan Hamengkubuwono I, disusul Mangkunegara I, berurutan kemudian meninggal dunia. Dan tampuk kepemimpinan digantikan oleh keturunan-keturunannya. VOC pun telah bubar. Dan berganti pula era penjajahan yang baru.

Tahun 1830 Belanda datang menjajah Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta. Dan 1945 sebuah negara baru telah merdeka. Negara tersebut dinamakan Republik Indonesia.

Tampuk kepemimpinan Kesunanan Surakarta berturut-turut turun dan kini telah sampai pada Paku Buwono XIII. Kadipaten Mangkunegaran juga telah sampai pada Mangkunegaran IX. Selanjutnya di sisi lain, Kesultanan Ngayogyakarta kini telah sampai pada kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono XI. Sedangkan Kadipaten Paku Alaman telah sampai pada Paku Alam X.

Siapa sangka, wilayah yang dulunya adalah hutan rimba itu kini telah menjelma menjadi sebuah pemukiman padat penduduk yang di kelilingi oleh bangunan-bangunan besar. Dan aku salah satu manusia yang pernah hidup dan menjadi bagian dari sejarah di dalamnya. Ya, di dalam hutan rimba itu.
Rimba itu Yogyakarta.
**

Novel Pendakian: MERBABU #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang