Bagian 1.

4.3K 174 7
                                    


.
.
.

Pagi cerah, dengan oksigen yang menyegarkan sisa hujan tadi malam mengurangi pasokan polusi yang menyesakkan.

Jam sudah menunjuk angka 6 lebih 10 menit. Waktuku pergi menimba ilmu di SMA Negeri tempatku belajar, setelah aku berpamit pada ibu dan bapakku, aku pergi mengayuh sepeda gunungku.

Selama perjalanan, bersenandung ria tanpa tahu aku sudah menghabiskan waktu sekitar setengah jam membuatku harus mengayuh keras tiba-tiba.

Untung, gerbang sekolah masih dibuka, hampir kena skors oleh guru piket, meski masih dihadiahi celotehan guru dipagi hari bak burung beo.

Bel sekolah berdering ria, terlalu keras sampai memekakkan telinga, aku berjalan menuju kelasku— X MIPA 5 lalu duduk dibangku barisan ke-2 dari depan dekat kusen jendela kelas, teman sebangku denganku sudah apik duduk nyaman disana dia—Ardian Syaputra, teman sebangku yang terlampau rajin dikelas kami, lelaki itu menatapku dengan pandangan terlihat kasihan,
"Lihat, masih pagi keringatmu mengucur deras seperti selesai lari marathon" ucapnya puitis, sedikit jijik menurutku.

"Aku kan memang bersepeda, sudah jelas jika keringetan" ujarku sembari duduk menata diri.

Tak ada lagi percakapan selanjutnya, guru pelajaran pertama—Biologi datang dengan buku tebal yang ia gendong, melihatnya saja sudah kuketahui jika itu sangat berat.

Kegiatan pembelajaran berjalan sampai jam terahkir, baik siswa maupun guru sama-sama menahan letih dan gerah panas.

Sesekali ketiduran karena bosan mendengar penjelasan guru yang kebetulan adalah mata pelajaran Sejarah Indonesia.

Bab Sejarah kami sudah mulai di Kerajaan Hindu Budha di Indonesia, mengenal kerajaan bercorak Hindu Budha dari yang pertama kali berdiri sampai terakhir, tak habis-habisnya sang guru menjelaskan dengan suka cita.

Finalnya pun kami ditugasi untuk membuat sebuah artikel mengenai kerajaan-kerajaan yang sudah ditentukan, berkelompok dengan teman sebangku dan hanya diperbolehkan mengambil sumber acuan dari buku ataupun peninggalan-peninggalan kerajaan tersebut dan aku mendapat bagian kerajaan Majapahit.

Bel pulang berbunyi nyaring, akhirnya penantian selama  kurang lebih 9 jam terbayarkan, para siswa berkemas begitu semangatnya. Seusai menyiapkan diri dan berdoa, berbondong-bondong pergi dari gedung sekolah yang menyesakkan.

Aku berjalan menyusuri koridor sekolah bersama teman sebangku ku, beberapa kali kudengar dia dengan celotehannya yang sesekali membuatku tertawa.

"Baiklah, aku akan menunggu jemputan" ujar Ardian mendapati orang yang menjemputnya belum terlihat disepanjang jalan depan gerbang sekolah, "Mau di temenin?" tanyaku, ia menggeleng sembari berucap "duluan saja" lalu aku mengangguk, mulai mengayuh sepeda dengan pelan.

Santai sembari menikmati pemandangan sawah yang kulalui, bersenandung lagu favoritku—Sampai Jadi Debu ciptaan Banda Neira.

Kayuhanku berhenti saat merasa getaran di saku celana, Ardian menelpon membuatku menggeser ikon hijau lalu mendekatkan benda pipih itu ditelinga kiri Tanpa sapaan apapun ia bicara,

"Sa, temenin aku dong, bapak masih dinas lama, sekalian kita diskusi buat tugas Sejarah" aku sedikit menimang, lalu mengiyakan ucapannya,
"Yaudah aku balik" ia berterima kasih padaku sebelum mematikan panggilannya.

"Nanda!" aku mendengar teriakan memanggil namaku, mencari dimana sosok itu berada, lalu berhenti kala aku melihat ia melambaikan tangan di teras cafe samping sekolah.

Aku menuntun sepedaku, menoleh kanan kiri memastikan kendaraan masih jauh untukku menyebrang.

Kala aku mulai menyebrang jalan raya, aku heran dengan raut muka Adrian berubah teramat cemas menatapku, seiring dengan bunyi klakson mobil yang tiba-tiba terdengar menusuk telinga.

"Nanda!!!" tubuhku terbang, seolah tak ada beban, aku mendengar teriakannya berlari padaku, suara samar langkah-langkah kaki mulai mendekatiku, mengerumuni.

Tubuhku tak bisa digerakkan, serasa hancur dan remuk, aku tak sadar seluruh bajuku sudah terkena cipratan darah sendiri.

"Nanda!" panggilan itu terdengar lagi, aku tak dapat melihat sosoknya, sedang ia masih berusaha memanggilku, sedikit demi sedikit suara itu semakin mengecil, samar teramat samar.

Belum sampai mata ku menangkap sesuatu, pandanganku sudah diambil alih kegelapan yang menyelimuti.



Tbc

MAJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang