Bab 2 (Perempuan Yang Menyembunyikan Rahasia)

718 23 0
                                    

Peluluh itu Senja Kirana. Lahir dari pasangan pengusaha kaya raya Temu dan Embun, 17 tahun lalu. Di sebuah rumah sakit besar di Birmingham, Inggris. Ketika senja di musim semi sedang cerah. Senja Kirana, ialah nama pilihan neneknya. Dia bersikeras menentang nama-nama lain yang sudah Temu dan Embun siapkan, seperti Anulika, Citrani, Adena, Davira, dan Elina.

Semuanya bagus, namun Neneknya bilang, "Senja Kirana. Dia akan menjadi perempuan yang bersinar, cantik dan elok. Seperti senja kala menunjukkan dirinya yang paling indah." Begitulah harapannya.

Sore itu, tepatnya awal musim semi. Di hari Rabu. Suara tangis Kirana pecah di dalam ruang operasi. Bersamaan dengan airmata Embun luruh membasahi pipi. Bahagia. Namun juga bersedih. Sebab tepat tiga hari sebelumnya ibunya meninggal di rumah sakit yang sama.

Bagi Embun, bulan maret ialah waktu di mana ia bahagia dan bersedih. Bersedih kehilangan sosok wanita hebat yaitu ibunya. Dan bahagia Kirana lahir ke muka bumi dengan selamat. Tidak ada yang kebetulan bagi Embun dan Temu. Semua yang terjadi sudah Tuhan tetapkan. Ada yang pergi dan terganti. Embun tetap bersyukur, karena Temu selalu ada di sisinya saat suka maupun duka.

Mengetahui istrinya yang begitu terpukul karena kehilangan ibunya. Temu mengajak Embun untuk kembali ke Indonesia. Sebab Inggris sudah tidak lagi terasa nyaman. Terlalu banyak kenang yang membuat tidak tenang. Dia ingin istrinya dapat berdamai dengan keadaan. Tidak harus melupakan. Namun, bisa mengikhlaskan.

Saat usia Kirana tiga bulan. Keluarga kecil Embun dan Temu pindah ke Jakarta. Hari-hari mereka lalui dengan bahagia. Tak pernah ada pertengkaran. Hanya ada canda dan tawa seiring tangisan Kirana kecil menggema.

Begitulah awal mula kelahiran Kirana.

Waktu melesat cepat. 17 tahun berlalu.

Hingga saat ini, tepatnya menjelang isya. Kirana duduk memeluk lutut bersandar pada pintu kamar. Menangis tersedu-sedu. Kedua jari telunjuk ia masukkan ke dalam lubang telinga. Berharap tak mendengar pertengkaran hebat yang sedang terjadi di luar. Antara bunda dan ayahnya.

Bersamaan dengan suara ayah yang meninggi membentak bundanya. Tubuh Kirana bergetar hebat. Sedih. Takut. Jika ayah hilang kendali memukul bunda. Sudah tiga bulan, ayah berbeda, tidak seperti yang Kirana kenal. Kini pria hebat yang ia idolakan. Telah menjelma menjadi pria asing di dalam kehidupannya.

Sakit! Suara teriakkan bundanya menggema keseluruh bagian rumah.

Kirana tersentak, matanya terbelalak, bangkit, lalu berlari keluar kamar. Sesekali ia mengusap airmatanya dengan punggung tangan. Langkahnya terhenti di separuh anak tangga yang ia turuni. Tangannya mengepal kuat. Saat melihat wanita yang paling ia cintai tersungkur di lantai, wajahnya tertunduk, tangan kanannya memegang pipi bagian kiri.

Kirana yakin kalau ayah telah memukul bunda. Ia hembuskan napas kasar. Mengambil stik golf milik sang ayah yang berada persis dekat tangga. Tak tahan lagi. Pada akhirnya, Kirana melangkah mendekat dengan penuh keberanian.

Kirana langkahkan kaki dengan mantap. Lalu, berdiri tepat dibelakang sang ayah yang membungkuk, sambil mulutnya terus mengeluarkan sumpah serapah. Bundanya hanya bisa meringkuk, satu tangan menutupi separuh dari wajahnya.

"Ayah ... apa yang sudah Ayah lakukan!?" Kirana dengan suara tercekat berdiri di belakang sang ayah. Telah siap mengayunkan stik golf yang ia genggam. Ia merasa geram, melihat sosok ayahnya yang memperlakukan bundanya dengan kasar.

Ayahnya memutar tubuh, matanya sedikit sayu. "Buat apa stik itu? Ingin memukul Ayah? Kembali ke kamarmu. Jangan ikut campur urusan orang tua!" bentak ayahnya sambil merampas dengan cepat stik golf yang Kirana pegang, lalu melemparnya ke tembok. Mulutnya mengeluarkan aroma busuk minuman keras. Lagi-lagi pria itu pulang dalam keadaan mabuk.

Kirana menatap sinis ayahnya. Lalu, kemudian berjalan mendekati bundanya dan membantunya berdiri.

"Bunda nggak apa-apa, kan?" Kirana sembari mengusap lembut wajah bundanya.

Bundanya mengangguk samar, tersenyum. "Iya, Bunda nggak apa-apa, Nak!" tangannya mengelus punggung Kirana.

"Minggir! Ayah sudah bilang, masuk sana!" Ayahnya sambil mendorong bahu Kirana dengan tangan kiri, sementara tangan kanan menarik bundanya.

Sakit! Bentak bundanya.

Kirana memukul kuat tangan ayahnya yang menarik lengan bundanya. Kemudian berdiri berhadapan dengan sang ayah, memasang posisi melindungi bundanya. Ia telah siap dengan semua resiko yang akan terjadi. Demi menjaga bundanya tetap aman.

Detik itu juga, ayahnya mengangkat tangan bersiap memukul wajah Kirana. Tatapannya mengisyaratkan emosi yang sudah memuncak tinggal meledak. Sedangkan Kirana tubuhnya bergetar hebat. Antara takut dan marah berpadu menjadi satu. Tiba-tiba ayahnya mengepalkan tangan kuat-kuat. Dan mengurungkan untuk memukul Kirana.

"Kenapa, Yah? Pukul aku jika Ayah mau!" Kirana menatap dengan tatapan geram, lalu menggenggam kuat tangan ayahnya dan menempelkan di pipinya.

"Pukul, Yah!" lanjutnya.

Pria itu menghela napas kasar menarik tangannya, lalu pergi menuju keluar rumah. Kirana menatap punggung ayahnya yang perlahan menghilang di balik pintu. Ia tidak mengerti ayahnya ada masalah apa. Tiga bulan terakhir, ayahnya jadi orang paling kasar dan pemabuk berat.

Bersamaan dengan ayahnya yang pergi. Tangis Kirana pecah.

"Bunda. Ayah kenapa?" Kirana terisak sambil memeluk bundanya.

Bundanya menggelengkan kepala, "Entahlah, Nak. Dia tidak seperti pria yang Bunda kenal dulu. Di mana begitu lembut, sabar, pemaaf, dan bertanggung jawab."

"Apa jangan-jangan ada wanita lain!?" tanya Kirana sembari melepas pelukkannya.

Bundanya menunduk, sejenak memejamkan mata, lalu menghembuskan napas pelan. "Tidak ... bukan karena ada wanita lain." Tangan yang sudah mulai ada guratan itu mengusap lembut pipi Kirana yang basah.

"Aku bukan anak kecil, Bunda. Jangan bohongin aku!"

Bundanya tersenyum, "Bunda tidak bohong, Nak. Sekarang sudah malam. Kamu istirahat sana. Kan besok harus sekolah."

Kirana menatap lamat-lamat iris hitam bundanya. Aku tahu Bunda sedang berbohong. Bunda tidak mau mengatakan yang sebenarnya. Batin Kirana.

Kirana mengangguk, ia tidak mau membantah permintaan bundanya.

"Bunda, kalau ada apa-apa. Panggil aku, ya." Kirana mencium kening dan pipi bundanya. Walau sebenarnya ia masih ingin menemani bundanya. Namun, bagi Kirana pantang membantah perkataan bundanya.

Bundanya hanya mengangguk.

Kirana pun melangkah kembali ke kamarnya yang berada di lantai dua. Sementara bundanya hanya memperhatikan anak gadisnya yang perlahan menghilang.

"Kamu tidak perlu tahu semuanya, Nak. Tugasmu hanya bersekolah dan meraih mimpimu. Urusan Bunda dan Ayah. Tak perlu kamu risaukan. Jikapun nantinya yang terburuk terjadi. Kata pisah telah disepakati. Kamu takkan menjadi korban. Kamu tetap anak kami." Tidak ada yang mendengar suara bundanya, tidak juga Kirana. Hanya dirinya sendiri

--ooo--

Ruang Juang DERITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang