Alpha Dua Puluh Enam

21.8K 3.8K 443
                                    


Diliriknya Atilla diam-diam, tapi lelaki itu bersikap biasa. Seakan meletakkan tangannya di pinggang Bianca bukanlah hal yang spesial. Perempuan itu sangat menyukai kedekatan fisik seperti ini dengan Atilla. Akan tetapi, dia harus berpura-pura tidak terpengaruh sama sekali.

"Bi, kamu kira ada peta di mukaku, ya? Bukannya lihat jalan di depan."

Wajah Bianca disambar hawa panas seketika. "Aku lagi mengagumimu. Ganteng banget soalnya," ujarnya, berusaha bicara dengan nada santai yang dibalut gurauan.

"Oh, itu! Kurasa itu bukan berita mengejutkan."

Bianca mengecimus. "Susah, sih, ya, ketemu sama orang yang overpede kayak kamu. Dipuji bukannya bilang terima kasih, malah menyombong," gerutunya.

"Kamu lagi-lagi salah. Kamu cuma nggak tahu saja apa yang kurasa."

Bianca mengenyit. Kalimat ini pun tak benar-benar dimengertinya. Namun, tampaknya Atilla lebih tertarik membahas tentang resepsi yang konon sangat kental dengan budaya jawa itu. "Lida dan suaminya bukan orang Jawa. Tapi, mereka sama-sama kuliah di Yogya, jatuh cinta banget sama kota itu dan budayanya."

"Wah! Itu cerita yang unik banget. Tapi, memang Yogya itu selalu bikin kangen," timpal Bianca. Dia pun selalu ingin kembali ke Yogyakarta jika punya waktu.

"Kalau suatu hari nanti kamu menikah, pengin resepsi kayak gimana? Pakai adat suku tertentu, internasional, atau apa?"

Itu pertanyaan yang tak pernah terpikirkan oleh Bianca. "Entahlah, aku malah nggak pernah punya cita-cita soal resepsi. Aku cuma membayangkan punya suami yang nggak pernah mempersoalkan kekuranganku. Punya anak-anak yang lucu dan sehat, minimal tiga. Lalu, kami tinggal di rumah yang nggak punya banyak perabotan, supaya anak-anak bisa bergerak bebas. Rumah itu punya jendela-jendela lebar dengan pagar putih dari kayu, menghadap ke halaman luas berumput. Lebih suka lagi kalau posisinya di tebing dan berhadapan dengan pantai." Bianca terdiam, merasa malu lagi. "Maaf, aku malah melantur."

"Itu bukan melantur namanya. Kamu cuma membagi mimpimu. Aku suka mendengar semua itu," Atilla menenangkan.

Mereka berpapasan dengan banyak karyawan hotel, beberapa di antaranya cukup familier dengan Bianca. Responsnya nyaris senada, mengerjap dua kali sebelum mengenalinya sebagai 'karyawati Just Married yang sering meeting dengan pihak manajemen Hotel Candramawa'. Bahkan Katrin awalnya tidak mengenali Bianca saat mereka bertemu muka, tak jauh dari pintu yang mengarah ke ballroom.

"Kenapa belum pulang, Trin?" tegur Atilla seraya mengecek arlojinya di tangan kiri. Tindakan itu membuatnya melepaskan pelukan di pinggang Bianca. Perempuan itu merasakan kehilangan yang tak masuk akal karena hal sederhana tersebut.

"Saya sengaja menunggu Bapak. Ini, tadi Bapak buru-buru pulang. Sampai-sampai rencana promosi yang diajukan tim pemasaran, belum ditandatangani." Katrin menyerahkan sebuah dokumen. Perempuan itu mengalihkan tatapannya ke arah Bianca, mengangguk sopan sambil mengucapkan salam. Setelahnya, pupil matanya melebar, seakan tak memercayai indra penglihatannya.

"Mbak Bianca? Ya ampun, saya sampai nggak kenal, loh! Duh, cantik banget kamu, Mbak!" serunya heboh. Bianca menyeringai, antara rikuh dan senang. "Sekali-kali pas meeting pakai gaun kayak begini, Mbak. Seksi," goda Katrin lagi sebelum pamit.

"Tuh, apa kubilang? Kamu cantik pakai gaun ini," puji Atilla dengan suara rendah. Dia menyerahkan dokumen yang sudah ditandatangani kepada Katrin, beralas papan plastik. Lalu, tangan kiri lelaki itu kembali ditempelkan di punggung bawah Bianca. Mereka pun kembali melangkah menuju ballroom yang sudah ramai.

Atilla adalah lelaki yang supel, itu bukan kejutan. Entah berapa kali mereka harus berhenti karena Atilla disapa atau menyapa para undangan. Satu hal yang pasti, Bianca belum melihat Atilla mencium pipi siapa pun.

Alpha Romeo [The Wattys 2020 Winner - Romance]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang