28. Tsundere

35K 4.7K 1.2K
                                    

"Saya juga suka kamu, Jung Ara."

"Pak? Tolong cubit pipi Ara dalam kisaran waktu lima detik aja gapapa." Sekarang Pak Doyoung hanya memandangiku sembari tersenyum, tanpa ada niatan untuk mengabulkan permintaanku barusan. Dia hanya diam untuk beberapa detik. Namun setelah itu tangannya mulai bergetar sampai mengeluarkan keringat.

Aku memegangi dahinya takut ia sedang kesakitan. "Ba-pak gak kenapa-kenapa kan?" Namun ia malah menuntun tanganku untuk mengayun di udara.

Dan kini ia mulai mengelus puncak kepalaku beberapa kali. "Cepat masuk ke rumah Ara, sudah malam." Ia menarik kedua sudut bibir tipisnya lalu tersenyum.

"Pak, tadi bapak bilang suka sama Ara? Itu beneran kan? Bukan cuma halusinasi?"

Ia tersenyum lagi, "Iya, saya suka kamu."

Aku memilih untuk menepuk kedua pipi beberapa kali. Masih merasa tidak percaya dengan perkataannya barusan. "Bentar Pak, Ara mau nyubit pipi Ara dulu. Jangan ditinggalin ya."

Pak Doyoung malah tertawa. Lalu ia membenarkan letak tasnya. "Silahkan."

Setelah merasakan sakit karena mencubit pipi sendiri, akhirnya Aku pun mulai tersenyum lebar sambil memandangi wajah Pak Doyoung. "Hmm, jadi Ara manggil bapak, Kak Doyoung, ya? Manis banget panggilannya Ara suka!"

Aku tersenyum lagi, mencoba berjinjit kemudian menyikut kedua bahu Pak Doyoung. Setelah itu aku pun mulai membisikan sesuatu di telinganya.
"Halo, Kak Doyoung, kapan kita jadiannya?"

Pak Doyoung malah tertawa sambil menjauhkan telinganya dari jangkauanku.
"Tunggu saja Ara."

Tubuhku membeku sejenak, kemudian netra ini berkelana untuk memerhatikan raut wajah Pak Doyoung. Wajahnya langsung datar saat aku memerhatikan untuk kedua kalinya. Lalu ia pun segera menyalakan motornya dan mulai melengang ditelan gelapnya langit malam.

Aku masih berdiri untuk melihat kepergiannya. Beberapa detik masih bertahan, tapi untuk detik selanjutnya aku mulai melangkahkan kaki untuk segera pulang ke rumah. Dan saat kaki ini melangkah mendekati pagar rumah, ada suara sepeda motor yang sangat berisik.

Aku membalikan tubuh untuk memastikan siapa orang yang mengendarai motor tersebut, karena sepertinya pengendara motor itu berhenti tepat di belakangku. Saat aku bertatapan dengan orang itu, aku pun mulai mengernyitkan dahi merasa kebingungan.

"Eh bapak??"

Pak Yuta membuka kaca helmnya lalu memberikan sebuah kantung plastik khas minimarket kepadaku. "Nih Ra, buat kamu."

"Eh bapak?" Aku mengernyitkan dahi lagi. "Buat Somi ya Pak? Oke nanti Ara kasihin."

Pak Yuta menggelengkan kepalanya. "Ga! Ini bukan dari Saya. Ini buat kamu tuh dari orang itu." Pak Yuta mulai menunjuk ke arah pria yang tengah berada diatas motor sport hitamnya.

Aku menarik kedua sudut bibir untuk melukiskan sebuah senyuman. Hatiku menghangat saat melihat isi dari kantong plastik ini. Ada dua pack roti tawar, susu fullcream kemasan jumbo, kayu putih, inhaller, dan ada obat batuk sirup.

Jadi semua ini Pak Doyoung yang membelinya? Padahal tadi itu aku hanya sedikit terbatuk-batuk itu pun saat jauh darinya. Tapi ternyata ia diam-diam mengetahuinya. Hatiku menghangat saat mendapat perhatian semanis ini.

Hingga aku terdiam untuk beberapa saat sambil tersenyum. Tapi tak lama kemudian suara Pak Yuta menyadarkanku dari keheningan ini.

"Astagfirullah Ara jangan ngelamun!" Dengan segera aku pun mulai menetralkan degupan jantung yang tak normal ini.

Saat aku mengalihkan tatapan, kini ada sepasang mata yang tengah memancarkan sorot lembutnya yang tengah berada di seberang jalan sana di dekat minimarket berwarna putih. Aku merapikan poni rambut agar tidak terlihat salah tingkah saat tatapan kami bertemu. Pak Doyoung masih disana tersenyum kepadaku diatas motor sport hitamnya.

MTMH | DOYOUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang