27. Kejutan

34.3K 4.9K 1.9K
                                    

Terpana, hanya karena sebuah tulisan tangan. Tapi hal sederhana itu mampu membuatku merasakan degupan jantung yang amat kencang. Dan sialnya, Pak Doyoung masih saja memerhatikanku dari jarak sedekat ini. Aku membeku, karena embusan napasnya yang harum mint.

Begitu maskulin, dan sangat memabukan. Namun, harum tubuhnya masih sama seperti dulu, yaitu aroma lembut khas adik bayi.

Setelah mengembuskan napas secara perlahan, lalu merapikan poniku yang agak acak-acakan, akhirnya tubuh ini mampu diajak untuk berkompromi supaya menjaga jarak dari Pak Doyoung.

Sedikit demi sedikit Aku mulai menggeser posisi duduk yang sangat tidak nyaman ini. Beberapa jarak telah tercipta, namun Pak Doyoung terus saja mengikutiku. Sampai-sampai kursi tanpa sandaran ini melesak dibuatnya.

Aku berseru karena kaget, saat Pak Doyoung sudah ada disampingku. Bahkan bahu kami sudah bersentuhan. "Bapaaak!"

Pak Doyoung malah tertawa menampilkan deretan giginya yang rapi. Membuat kesan manis yang melekat dalam dirinya. "Kenapa, Ara?"

"Duduknya jangan mepetin Ara terus Pak! Ara bisa deg-degan terus tauuu!"

Pak Doyoung malah tertawa lagi. "Tuh-tuh malah ketawa! Itu apa maksudnya, mau bikin Ara senam jantung terus-terusan?!"

Setelah mendengar ucapanku barusan, Pak Doyoung mulai berhenti tertawa lalu menyisir rambutnya menggunakan jari.

Sialan, kenapa sangat mempesona sih?!

"Tuh! Ngapain nyisir rambut gitu di depan Ara?!! Bapak mau bikin Ara ambyar untuk kesekian kalinya?"

Pak Doyoung mulai tersenyum miring, tangannya terulur untuk membawa sebuah tisu yang ada di hadapan kami.

Ia mengeluarkan beberapa lembar tisu, lalu mengarahkannya ke telapak tanganku. Aku segera menyembunyikannya, karena tidak mau jika tulisan tangan Pak Doyoung harus dihapus.

"Mana, saya akan menghapusnya Ara."

"Ga boleh! Pokoknya ga boleh!" Aku pun mulai mengerucutkan bibir lalu menggelengkan kepala berkali-kali kepadanya.

Pak Doyoung malah menopang dagu lagi, dan untuk kesekian kalinya ia terus mentapku. "Kenapa ga boleh, Ara...?" Suaranya sangat lembut bagaikan alunan yang sangat indah memandu telingaku.

"Pokoknya ga boleh! Ini tulisannya harus di foto dulu, buat kenang-kenangan."

Pak Doyoung semakin mendekatkan wajahnya kepadaku, dengan satu alis yang naik ia pun mulai tersenyum tipis. "Kenapa untuk kenangan? Padahal bisa direalisasikan?"

Direalisasikan katanya astagaa!

Aku kembali menatap tulisan itu, membacanya berulang kali lalu pipi ini kembali memanas dan jantung pun terus berdegup semakin kencang.

Berhenti menggombal ya, calon istri :')

Aku tidak kuat jika harus ditatap seperti ini terus. Akhirnya aku pun memlih untuk berlari meninggalkan Pak Doyoung di perpustakaan seorang diri. Dan sekarang bisa kudengar bahwa ia tengah tertawa disana setelah melihat lariku yang kesannya terbirit-birit.

Aku menghampiri Kak Jaehyun yang sedang duduk santai diatas sofa sembari memangku laptopnya yang berwarna putih. Mengatur napas adalah rutinitasku untuk saat ini. Lalu akupun terbatuk-batuk, sedikit tersedak dan disertai wajah yang memanas. Melihat hal tersebut, Kak Jaehyun langsung mendengus tak karuan.
Lalu ia menyimpan laptopnya di atas meja.

"Lo kenapa, dek?" Ia kembali menelisik wajahku. "Abis dikejar apaan?"

Aku menepuk-nepuk kedua bahu Kak Jaehyun untuk beberapa saat lalu terbatuk-batuk lagi. "Itu Kak, gawat."

MTMH | DOYOUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang